Minggu, 24 November 2013

islam dan praktik demokrasi di indonesia







. PENDAHULUAN
Dalam kajian-kajian ilmu politik kontemporer, topik hubungan Islam dan demokrasi banyak menarik perhatian para sarjana selama dua dekade terakhir ini. Ketertarikan ini—diantarafaktor-faktor lain—dipicu oleh tulisan provokatif dari ilmuwan politik Amerika, SamuelHuntington. Dalam buku klasiknya tentang gelombang demokratisasi yang dialami sistem politik negara-negara di dunia sejak 1970-an
The Third Wave: Democratization in the LateTwentieth Century
(1991), Huntington menampilkan data dan analisis bahwa dunia Islam—  bersama dengan masyarakat penganut Konfusianisme—tampak melawan arus trend ini.Ketika banyak negara-negara di berbagai belahan dunia beriringan mengadopsi sistemdemokrasi, negara-negara Islam dan Konfusianis tampak tidak terpengaruh. MenurutHuntington demokrasi tidak bisa berkembang di negara-negara ini karena tradisi-budayamereka secara fundamental bertentangan dengan demokrasi. Sebenarnya, pada buku ini,Huntington mengakui bahwa ada nilai-nilai luhur dalam tradisi politik Islam, namun secaradefinitif ia menyatakan bahwa dalam praktik belum pernah ditemukan Islam bergandengandengan demokrasi (Huntington, 1991: 100).


Menariknya, pengamatan terhadap realitas dunia politik sepertinya mendukung klainHuntington ini. Dari cacatan Freedom House 2002,1misalnya, dari sepuluh negara yangdiakualifikasikan sebagai otoritarian (menindas terhadap rakyat) tujuh diantaranya adalahnegara-negara Muslim

Dari sekitar 48 negara Muslim, 35 diantaranya dikategorikan sebagai yang tidak memilikikebebasan politik, 12 diantaranya dikategorikan sebagai semi-bebas, dan hanya satu negaraMuslim yang dianggap memiliki kebebasan politik selama lima tahun terakhir—yaitu Mali,negara kecil di Afrika Timur (Freedom House, 2002).Secara lebih spesifik, data Freedom House juga menunjukkan fakta yang menarik:Pasca runtuhnya Uni Soviet, lahir beberapa negara baru dimana enam diantaranya adalahnegara Muslim. Dan indeks kebebasan negara-negara Muslim ini rata-rata lebih rendah dari pecahan bekas Uni-Soviet yang bukan Muslim. Trend yang terjadi di Eropa Timur pascaruntuhnya tembok Berlin juga menunjukkan trend meningkatnya iklim demokrasi kecuali didua negara, Albania dan Bosnia—yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim. Bahkan diCyprus, negara yang terpecah antara Greek-Cypriot yang didominasi bangsa Yunani danTurkish Cypriot yang didominasi bangsa Turki, yang pertama memiliki tingkat kebebasan politik lebih tinggi ketimbang yang kedua.Fakta-fakta yang sangat mencolok ini, memancing para pengkaji untuk menyimpulkan bahwa dunia Islam adalah tanah tandus bagi tumbuhan demokrasi. Ada beberapa argumenyang muncul, yang mencoba menjelaskan mengapa demokrasi tidak berkembang di duniaIslam.

 Pertama
, menurut Bernard Lewis, Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan penganutnya (all inclussive religion), sehingga dalam Islam tidak ada pemisahanantara kehidupan agama dan kehidupan umum. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan umat Islam diatur oleh ajaran agama yang bersifat doktriner, sehingga tidak membri kesempatan kepada kreativitas pemikiran. Tanpa adanya kreativitas pemikiran rasional makademokrasi tidak mungkin tumbuh (Lewis, 2002: 100).


 Kedua
, faktor selanjutnya yang menjadi alasan mengapa politik demokrasi tidak bisatumbuh di negeri-negeri Muslim adalah karena konsep ideal sistem politik dalam Islam adalahKhilafah yang universalis, yang memilah dunia menjadi dua wilayah yang
mutually exclussive yaitu dunia Islam (darul Islam) dan negeri kafir (darul Harb). Konsekuensi dari sistemkhilafah yang universalis ini adalah masyarakat Muslim tidak mampu mengadopsi dua elemendasar pembentuk demokrasi, yaitu negara-bangsa (nation state system)—yangmenjadikansebuah negara memiliki kedaulatan—dan masyarakat sipil (civil society) yang mengontrolkekuasaan politik negara. Absennya dua fundamen inilah yang menyebabkan demokrasi tidak  pernah tumbuh di dunia Islam, apapun bentuk pemerintahannya (Kedurie, 1992:1; Gelner, 1996: 23-29).

Terakhir , fakta historis tambahan yang memperkuat resistensi dunia Islam terhadap perkembangan demokrasi adalah sejarah permusuhan dunia Islam dengan Eropa dan duniaBarat secara umum, yang sudah berjalan berabad-abad mulai dari Perang Salib hingga sejarahKolonialisme. Sejarah permusuhan inilah yang membuat masyarakat Muslim cenderungresisten terhadap budaya Barat dan produk-produknya, termasuk sistem politik demokrasi,yang sering diasosiasikan sebagai sistem politik yang berakar pada tradisi dan sejarah Barat(Huntington, 1997: 112). Namun banyak juga ilmuwan yang menolak anggapan bahwa Islam tidak kompatibeldan tidak mungkin membangun demokrasi. Ada dua argumen pokok yang diajukan kelompok ini:
 Pertama
, sebenarnya negara-negara yang diklasifikasikan sebagai non-demokratik, yangotoritarian maupun yang semi-otoritarian, memiliki kesamaan mendasar yang terlepas dariidentitas budaya dan agama mereka: seperti tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yangrendah, serta lokasi geo-politik yang berada di kawasan-kawasan rawan konflik sepertiAfrika, Timur Tengah dan Amerika Latin. Sehingga, sebenarnya akar dari absennya nilai-nilaidan sistem demokrasi bukan karena faktor agama dan budaya, melainkan karena faktor-faktor sosial-ekonomi dan geo politik di atas (Rose, 2002).

 Kedua
, bahkan ada ilmuwan yang menunjukkan bahwa dalam Islam-pun sebenarnya ada nilai-nilai yang sejalan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Menurut Mousalli paling tidak ada dua konsep dalam Islam yang paralel dengan tradisi demokrasi yaitu Syuro atau pengambilan keputusan melalui proses dialogis guna menuju kesepakatan, serta Ikhtilaf  yaitu tanggung jawab individual untuk menjaga kebaikan masyarakat (2001). Sedangkan Espositodan Voll menambahkan dua elemen lagi, yaitu konsep Ijtihad yaitu hak bagi mereka yang mampu untuk mengembangkan pemikiran kreatif demi kebaikan, serta
 Ijtima’ atau konsensusdalam masyarakat sebagai landasan membangun tata-nilai kehidupan dan pengambilankeputusan publik maupun politik (Esposito-Voll, 1996).Sehingga pandangan yang menganggap tradisi-budaya Islam tidak sejalan dengandemokrasi tidak memiliki landasan yang kuat. Karena terbukti bahwa dalam Islam pun, adanilai-nilai yang seiring dengan prinsip-prinsip demokrasi. Mungkin orang masih bertanya juga, bagaimana dengan pernyataan Huntington, bahwa apapun status hubungan Islam dandemokrasi secara teoritis, dalam praktiknya belum ada negara Islam yang demokratis? Satuhal yang mungkin luput dari pengamatan, adalah bahwa sejauh ini gambaran tentang DuniaIslam yang dianut oleh para ilmuwan dan pengamat belumlah akurat. Ada ke kecenderunganuntuk mengidentikkan Dunia Islam dengan Timur Tengah, sebagai kawasan tempat lahirnyaagama tersebut, dan melihat kawasan dunia Islam yang lain sekedar sebagai pinggiran yangtidak signifikan.Indonesia, misalnya, hingga dekade 1990-an banyak mengalami ‘double-marginalization’: di satu sisi, para pengkaji Islam secara internasional cenderung lebih berminat kepada negara-negara di Timur Tengah yang dianggap memiliki budaya Islam yanglebih orisinil sementara negeri seperti Indonesia kurang diminati karena budaya Islam-nyadianggap tidak murni. Di sisi lain, para ilmuwan sosial juga tidak banyak memperhitungkanfaktor Islam di Indonesia karena dianggap sekedar sebagai lapisan tipis yang tidak banyak mempengaruhi proses dan dinamika sosial-politik yang ada (Hefner, 1997)Jika konsepsi tentang dunia Islam lebih akurat, maka gambaran yang didapatkan akan jauh berbeda. Terutama dalam persoalan politik demokrasi, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sudah mempraktikkan politik demokrasi sejak awalabad ke-20. Dan para aktor politik Muslim—personal maupun organisasi—adalah tulang punggung petumbuhan, perkembangan dan pergulatan politik demokrasi di negeri ini selamahampir satu abad. Artikel ini mencoba menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yangasing bagi Muslim di Indonesia. Sejak jaman pra-kemerdekaan, para politisi Muslim sudahmulai berkenalan dengan praktik-praktik demokrasi seperti partai politik dan parlemen.Sehingga, ketika Indonesia merdeka sistem demokrasi segera bisa dijalankan dengan tanpa banyak kesulitan, dimana aktor politik Muslim termasuk pemain-pemain yang dominan.Meski iklim politik sempat terliputi oleh sistem otoritarianisme, dibawah presiden Sukarno(1960-1966) dan presiden Suharto (1966-1998) para politisi Muslim masih mampumemainkan peran-peran demokratis, di dalam maupun di luar sistem. Dan ketika pintureformasi terbuka, politik Islam dengan sangat menonjol mencuat ke permukaan sebagai aktor-aktor utama demokratisasi. Sehingga, apa yang dipuji oleh mantan presiden AS JimmyCarter sebagai ‘
the shining example’ dari demokratisasi di dunia Islam (Carter, 2004) bukanlah fakta instant yang datang dari antah-berantah, melainkan memiliki akar panjangdalam sejarah politik Islam di negeri ini.


2. DIMENSI-DIMENSI DEMOKRASI
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani  Demosyang berarti ‘Rakyat’ danKratos
yang berarti ‘Berkuasa’, sehingga secara etimologis istilah demokrasi dipahami sebagai“kekuasaan oleh rakyat”. Sedangkan secara terminologis, istilah demokrasi memiliki dua pengertian. Pertama, secara bentuk, mengacu kepada sistem pemerintahan dimana rakyat yangdiperintah memiliki otoritas dan kedaulatan atas proses dan arah pemerintahan. Pada poin ini,demokrasi dibedakan dari bentuk-bentuk pemerintahan yang lain seperti
Monarchydimanakekuasaan ada di tangah satu kelompok (biasanya satu keluarga),

 Aristocracyyaitu sistem pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan para bangsawan, ataupun Plutocracyyaitusistem politik dimana basis legitimasi politik adalah kekayaan ekonomi, dan kekuasaan berada di tangan kelompok kaya. Kedua, secara nilai demokrasi dipahami sebagai sistem politik yang memberikan dan menjamin ruang dan kebebasan politik kepada khalayak publik.Sehingga, pada dimensi ini demokrasi dilawankan dengan bentuk-bentuk pemerintahan yangmembatasi atau mengingkari hak-hak politik publik, seperti Autoritarianisme danKediktatoran (Charlisle, 2005: 123).Terkait dengan ini, ada anggapan yang banyak beredar bahwa demokrasi adalahsistem politik yang identik dengan tradisi Barat. Dalam konteks demokrasi modern,sebenarnya pandangan ini tidak tepat. Di satu sisi, meski istilah demokrasi sebagai sebuahsistem politik secara kronologis merujuk kepada praktik politik di jaman Yunani Kuno dikota Athena—dimana rakyat selalu berkumpul untuk secara aklamasi terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan politik—namun sebenarnya praktik sejenis itu tidak hanyaterdapat di kalangan bangsa Yunani saja. Dalam sejarah Islam, misalnya, pasca meninggalnya Nabi Muhammad, para tokoh Islam kala itu yang masing-masing mewakili berbagaikelompok yang ada berkumpul untuk bermusyawarah menentukan siapa pemimpin pengganti Nabi. Menurut Marshal Hodgeson dalam The Venture of Islam
, Islam sebenarnya pernahmemiliki sebuah ‘proto demokrasi’ yang dalam banyal melampaui jamannya. Namun karenatidak memiliki topangan sosial-budaya yang memadai, akhirnya praktik demokrasi initenggelam diganti oleh sistem monarkhi. Artinya, praktik demokrasi tidaklah orisinil sejarah  
6Barat, karena dunia Islam secara paralel dan independent juga pernah memiliki (Hodgson,1975).Di sisi lain, dalam perkembangan kontemporer, politik demokrasi juga tidak hanya berkembang di Barat, melainkan juga tumbuh di berbagai belahan dunia yang masing-masingmemiliki karakter unik sesuai realitas politik yang ada. Secara kronologis berdasarkan waktu pertumbuhannya, sistem demokrasi bisa dikategorikan ke dalam beberapa generasi:i.

Demokrasi di Eropa Barat, yang berkembang sejak abad ke-16 dan dalamsejarahnya muncul mengikuti Revolusi Perancis dan Revolusi Industri.Konteks inilah yang menjadikan demokrasi di Eropa Barat diwarnai oleh pertarungan ideologi-ideologi politik. Revolusi Perancis melahirkan gerakananti-klerikal (Sekulerisme) yang kemudian mendapat mendapat perlawanandari kalangan agama ( Demokrasi-Kristen). Revolusi tersebut jugamelahirkan kelompok-kelompok yang mendukung pembaruan ( Liberalisme)melawan pihak-pihak yang ingin mempertahankan sistem lama (Konservatisme), dan juga pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan yangterpusat (Sentrisme) melawan mereka yang ingin mempertahankan otonomiwilayah ( Regionalisme). Sedangkan konteks Revolusi Industri memiculahirnya pertentangan antara mereka-mereka yang menginginkan kebebasan bersaing dan mengakumulasi kekayaan ( Kapitalisme) melawan mereka yangmemilih distribusi yang adil (Sosialisme) dan bahkan penghapusan kelassosial ( Komunisme) (Lipset-Rokkan, 1967).


ii.Demokrasi di Eropa Selatan yang mulai bangkit pada dekade 1970-anmemiliki konteks yang berbeda. Ada tiga faktor yang secara simultanmempengaruhi lahirnya demokrasi di kawasan ini.
 Pertama, pergeseran pandangan Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II (1936-1965), darikecenderungan memprioritaskan stabilitas—dengan demikian mendukung
 status quo, menjadi dorongan untuk mendukung pembaruan dan karenanyamenentang otoritarianisme. Keputusan ini memiliki pengaruh besar bagimasyarakat Eropa Selatan yang dominan pengikut Katolik.

Kedua
,meningkatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut, yang diikuti olehmeningkatnya tingkat pendidikan rata-rata anggota masyarakat, memiculahirnya tuntutan keterbukaan politik dan sikap anti-pati terhadap para penguasa otoriter. Kedua konteks di atas inilah yang menjadikan demokrasi7di Eropa Selatan dicirikan oleh perpaduan antara tradisi Katolik dengantendensi ekonomi kapitalis dan politik liberal (Huntington, 1991).iii.

Demokrasi di Amerika Latin, yang meskipun didominasi oleh masyarakat penganut Katolik namun berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa Selatan,karena perbedaan konteks sosio-politik yang ada. Berbeda denganmasyarakat Eropa Selatan yang sudah menikmati pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan sejak 1960-an, masyarakat Amerika Latin masihdidera oleh dua beban:

 Pertama
, ekonomi kapitalisme yang menghisap danmemisahkan antara komunitas keturunan Eropa yang kaya dan masyarakat pribumi yang miskin. Situasi ini melahirkan gerakan sosial-politik berhaluankiri yang, menariknya, mendapatkan dukungan luas dari kalangan GerejaKatolik. Perpaduan antara Marxisme dan Katolikisme inilah yang kemudianmelahirkan apa yang dikenal dengan ‘Teologi Pembebasan’.

 Kedua
, sistem politik pasca-kolonial yang didominasi oleh para diktator militer yangmemerintah dengan tangan besi, yang kemudian memancing terjadinya perlawanan bersenjata, maupun kompromi dengan para penguasa. Sehingga,demokrasi di Amerika Latin banyak dicirikan oleh perpaduan antara tradisiKatolik, politik berhaluan Marxis, dan kecenderungan gerakan radikal(Garreton-Newman, 2001)iv.

Demokrasi di Eropa Timur, yang mulai tumbuh pada dekade 1980-an,terutama menjelang dan pasca runtuhnya imperium Uni Soviet. Berlatar  belakang sistem politik Komunisme ini, demokrasi yang lahir di kawasanEropa Timur memiliki ciri khas yang juga berbeda dengan tradisi yang berkembang di wilayah lain.

 Pertama
, pada level sosial sistem politik komunis menghilangkan sekat-sekat kelas sosial dan mencoba membangunmasyarakat tanpa kelas, sedangkan pada level negara sistem komunis tidak mengakui identitas ‘kebangsaan’ dan mencoba membangun sisteminternasionalisme. Berlatar belakang konteks ini, sistem dekrasi di EropaTimur diwarnai oleh pergulatan membangun ‘identitas nasional’ yang dikawasan lain sudah selesai sejak era pasca Perang Duni


II.
 Kedua
, sistemkomunisme menganggap Marxisme sebagai ‘puncak ideologi’ dan jugasangat anti kapitalisme. Sehingga demokrasi yang berkembang di EropaTimur juga sangat diwarnai oleh pergulatan untuk merumuskan ideologi politk yang demokratis sekaligus anti-kapitalis.


 Ketiga
, sistem komunisme
 
8memberangus masyarakat sipil secara umum, kecuali organisasi buruh yangmerupakan alat negara untuk memobilisasi dukungan politik. Akibatnyaketika sistem demokrasi tumbuh di Eropa Timur, gerakan ini banyak didominasi oleh organisas dan gerakan buruh (Koczanowicz-Singer, 2005).v.

Demokrasi di Asia Pasifik, yang marak di era 1980-1990. Masyarakat dikawasan ini memiliki beberapa kesamaan, antara lain: sejarah kolonialisme,keragaman etnik-budaya-agama yang sangat tinggi, serta sistem ekonomicampuran antara kapitalisme modern dan ekonomi tradisional. Latar  belakang kontekstual ini membuat perkembangan politik demokrasi dikawasan ini memiliki ciri khas tersendiri.


 Pertama
, warisan kolonialismemeninggalkan jejak semangat nasionalisme yang tinggi dalam politik dikawasan ini, sekaligus—uniknya—karakter sistem negara penjajah [Inggris,Perancis, Spanyol, Belanda, Amerika Serikat] karena para pejuangkemerdekaan didominasi oleh hasil didikan kaum penjajah.

 Kedua
,keragaman etnik-budaya-agama mengharuskan sistem demokrasi yang ada dikawasan ini bersifat religius sekaligus akomodatif terhadap keragamanagama.

 Ketiga
, paralelisme antara sistem sosial-politik-ekonomi modernwarisan kolonial dan sistem tradisisional pra-kolonial menghasilkan apayang disebut pola ‘politik klientalisme’ dimana para aktor politik menjalankan demokrasi yang strukturnya rasional-utilitarian denganinteraksi dan transaksi politik berdasarkan relasi-relasi primordial (Pye,1985).vi.

Demokrasi di Afrika, yang mulai tumbuh sejak dekade 1990-an. Salah satukarakter khas masyarakat Afrika yang tidak ditemukan dalam tradisi dan praktik politik di kawasan lain adalah sistem tribalisme yang masih kuatdalam praktik-praktik sosial, politik dan ekonomi modern. Disamping itu,masyarakat Afrika juga masih memiliki tingkat kehidupan ekonomi dantingkat rata-rata pendidikan yang sangat rendah dibanding kawasan lain.Realitas yang pertama menyebabkan sistem demokrasi yang berkembang diAfrika banyak dicirikan oleh komitmen dan relasi politik berdasarkankesetiaan dan relasi kesukuan. Sedangkan realitas yang kedua menjadikandemokrasi yang berkembang di kawasan ini lebih cocok dengan sistemkompromi elit (konsosiasional), yang kadangkala masih diselingi dengandengan penggunaan kekerasan (Brinkerhoff-Goldsmith, 2002)
Hingga di sini tampak cukup jelas, bahwa kajian empirik terhadap praktik-praktik demokrasidi berbagai kawasan di dunia menunjukkan bahwa praktik politik demokrasi selalu diwarnaidan dicirikan oleh konteks sejarah, sosial-budaya, politik dan ekonomi dari masing-masingkawasan. Praktik politik demokrasi bersifat plural, dan tidak serta-merta merupakan kopiandari praktik politik di dunia Barat. Keragaman empirik praktik demokrasi inilah yangkemudian menghasilkan keragaman konsep dan teori demokrasi, sebab teori-teori itu munculdari pengamatan praktik-praktik yang berbeda, dan masing-masing teori dan praktik menekankan faktor-faktor yang berbeda, yang sebenarnya berakar pada dari konteks khassebuah kawasan tertentu (Mazo, 2005). Namun definisi dan konsep demokrasi yang beragamtersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar.

 Pertama
, teori yang menekankan dimensi prosedural institusional, yaitu partai politik,Pemilu dan Parlemen sebagai bangunan prosedur dan institusi politik dimana rakyat secarakeseluruhan terlibat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik fundamental.Teori ini pertamakali dirumuskan oleh ekonom kelahiran Swiss, Joseph Schumpeter, dalam buku klasiknya Caipitalism, Socialism and Democracy
(1946). Schumpeter memulai rumusanteorinya dengan mengkritik gagasan klasik utilitarian tentang demokrasi yang terlalunormatif, yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem dan prosedur politik olehrakyat untuk mencapai kebaikan bersama (common good ). Menurut Schumpeter, konsep initidak realistis karena apa yang dinamakan “kebaikan bersama” tidak pernah ada secaraempirik. Selalu akan ada perbedaan di masyarakat tentang ‘substansi’ maupun ‘cara untuk mencapai’ kebaikan bersama tersebut. Soal kredit perbankan atau aborsi, misalnya, memilikimanfaat empirik secara ekonomi dan medis, namun tetap saja banyak anggota masyarakatyang tidak setuju.Karena itu, Schumpeter kemudian membuat rumusan baru tentang demokrasi yangmenurutnya lebih kongkret, yaitu “
institutional arrangement for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of a comeptitive struggle for the people's vote" (1946: 269). Menurutnya, demokrasi bukanlah sistem untuk mencapaikebaikan bersama—yang abstrak dan tidak pernah ada—melainkan sebuah sistem dimanaaktor-aktor politik berkompetisi untuk untuk memenangkan suara rakyat. Prosedur demokrasimemiliki tiga elemen pokok: (i) Partai politik, sebagai kendaraan para politisi memobilisasidukungan politik dan mensosiaslisasikan program-program politik kepada masyarakat; (ii)Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai ajang persaingan politik yang nir-kekerasan; dan (iii)
 
10Parlemen sebagai perwujudan kehendak-politik ( political preferences) mayoritas masyarakatdi pemerintahan (Diamond, 1999).


 Kedua
, teori demokrasi yang memfokuskan pada peran elit dalam memainkan persaingan politik secara efektif, tanpa kekerasan dan berkelanjutan. Konsep ini dirumuskanoleh pemikir kelahiran Jerman Dankwark Rustow dalam artikelnya “Transitions toDemocracy: Toward a Dynamic Model”
Comparative Politics(1970). Rustow berangkat darikonsep sosiologi politik yang melihat bahwa elite—kelompok-kelompok yang memilikiotoritas dan memegang kekuasaan di masyarakat—merupakan kunci semua proses politik  baik secara empirik maupun normatif. Secara empirik, para elitlah yang memiliki pengetahuan dan kemampuan secara aktif melakukan perebutan dan melaksanakankekuasaan, sedangkan rakyat kebanyakana (publik) hanya bersikap pasif. Sedangkan secaranormatif, elite perlu diberi posisi lebih ketimbang publik karena elit memiliki pemahaman,gagasan dan visi yang jelas tentang realitas dan dinamika politik, sedangkan massa tidak  pernah memiliki kepamahaman yang utuh terhadap realitas politik, selalu bersifat cair dan berubah-ubah. Karena itu, menurut Rustow, demokrasi hanya akan tercipta apabila kelompok-kelompok elit yang saling bersaing ada sudah mampu mencapai pemahaman bahwa persaingan politik tidak akan pernah diselesaikan secara tuntas, dan karena itu mereka sepakatuntuk melakukan kompromi-kompromi politik. Dari kompromi-kompromi inilah maka akantercipta ‘democratic-habituation’, berupa sistem politik yang stabil.


 Ketiga
, teori demokrasi yang memfokuskan kepada patisipasi dan keterlibatanmasyarakat luas terhadap proses politik. Konsep ini muncul dari fakta sejarah, dimanakadangkala sistem politik yang tercipta dari proses yang demokratis tumbuh dan berkembangmenjadi kekuasaan yang anti-demokratis dan menindas rakyat. Contoh yang palingspektakuler adalah sejarah Nazi (
 Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei —PartaiPekerja Nasional-Sosialis Jerman) di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Hitler naik ketampuk kekuasaan melalui proses demokratis, ketika partainya memenangkan pemilu 1932.namun dalam perkembangannya, ia menjadi penguasa fasis yang menindas kelompok minoritas dengan keji. Ilmuwan menganalisis, bahwa Nazi menjadi penguasai fasis karenamasyrakat Jerman gagal membangun partisipasi politik untuk mengawasi, mengontrol danmelawan tendesi fasisme Hitler.Teori demokrasi partisipatoris yang paling populer dirumuskan oleh dua ilmuwan politik Amerika, Gabriel Almond dan Sidney Verba dalamCivic Culture(1965). Menurutkeduanya, budaya kewargaan (civic culture)—“the specifically political orientations: attitudestowards the political system and its various parts, and attitudes toward the role of the self in
 
11the system, which is pluralistic, and based on communication and persuasion, a culture of consensus and diversity, a culture that [permits] change but [moderates] it” (1965: 13)— merupakan syarat utama adanya sistem demokrasi. Ada tiga tahapan dalam pertumbuhan budaya-kewargaan: (i) tahap parokhial, dimana masyarakat belum memiliki kesadarandifernsiasi sistem sosial, belum bisa membedakan sistem politik dari sistem agama atau sistem budaya yang lain; (ii) tahap subjektif, dimana masyarakat sudah memiliki kesadarandiferensial, dan sudah mampu memilah antara fakta atau persoaln politik dengan fakta atau persoalan sosial-budaya yang lain, namun mereka belum terlibat dalam proses politik; (iii)tahap partisipatoris, dimana masyrakat sudah memiliki kesadaran dan kemampuan untuk ikutterlibat dalam proses-proses politik—tanpa harus meninggalkan identias dan orientasi parokhialnya (etnis, kultur, agama) (Almond-Verba, 1965: 19-31).


3. PRAKTIK DEMOKRASI DI INDONESIA
Sekarang, dengan menggunakan kerangka tiga dimensi demokrasi di atas, kita akanmembahas sejarah politik di Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga sekarang, terutamamenyangkut peran aktor-aktor politik Islam. Dari pembahasan di bawah akan terlihat bagaimana sejarah politik di kalangan politisi Islam sudah sangat akrab dengan praktik- praktik demokrasi, dengan demikian membantah klaim Huntington bahwa praktik demokrasitidak pernah ditemukan di dunia Islam.

3.1. Prosedur dan Institusi
Islam sudah menjadi kekuatan politik di wilayah Nusantara sejak abad ke-15, dan selalumewarnai dinamika politik di kawasan ini. Namun perkenalan politik Islam dengan sistemdan prosedur demokrasi baru terjadi pada awal abad ke-20 sebagai akibat dari interaksidengan—sekaligus upaya melawan terhadap—politik kaum penjajah. Prosedur demokrasiyang pertama kali dijalani oleh umat Islam di Indonesia adalah pembentukan Sarekat Islam(SI) di Surakarta 1912. Secara teoretik ada tiga fungsi pokok partai politik dalam demokrasi:mengartikulasikan kepentingan politik rakyat, merekrut pemimpin politik dan membentuk  pemerintahan, menjalankan kebijakan sesuai kehendak rakyat (King, 1966). Dan SI jugasudah memainkan peran ini, meski tidak semuanya.Dalam hal pengartikulasian dan mobilisasi dukungan politik SI dapat dikatakansebagai organisasi politik pertama di yang berlevel nasional. Sebelum SI gerakan-gerakannasionalis masih bersifat lokal dan bahkan partikular, seperti Budi Utomo yang hanya aktif diJawa dan beranggotakan para
 priyayi. menurut sejarahwan Jerman Bernard Dahm, ada tiga faktor yang membuat SI mampu menjadi gerakan massa:

Pertama
, aksi boikot terhadap perdagangan Cina, telah menarik perhatian dan dukungan dari kalangan atas dan menengah—  bangsawan, priyayi, guru, dokter yg tidak suka dengan perilaku warga Cina—meskipun banyak dari mereka tidak peduli, bahkan tidak suka dengan Islam.

 Kedua
, nama dan program- politik Islam menarik dukungan dari kalangan ulama (kyaidan haji) yang memiliki pengaruhluas di daerah-daerah pedesaan Jawa dan di banyak daerah di Sumatra,Kalimantan, Sulawesidan Nusa Tenggara.

 Ketiga
, Tjokroaminoto banyak dianggap—dan dipromosikan—sebagaisosok Ratu Adil (yg dalam literatur Jawa disebut Heru Cokro) sehingga mampu menarik dukungan dari kalangan petani pedesaan di pedalaman Jawa (Dahm, 1971: 49-50).Selanjutnya, melalui organisasi SI, yang kemudian berubah nama menjadi PartaiSarekat Islam (PSI) pada 1921, para politisi Muslim bisa masuk ke dalam sistem dan menjadianggota parlemen, yaitu Volksraad atau Dewan Rakyat, yang dibentuk sejak 1918. Dari dalamVolksraad inilah para politisi Muslim memperjuangkan cita-cita dan program politik mereka.Misalnya, Cokroaminoto pada 1919 mengajukan sebuah mosi untuk agar anggota-anggotaVolksraad dipilih langsung oleh rakyat sehingga dapat berfungsi parlemen yang sebenarnyadalam menyuarakan kehendak politik rakyat. Meski tidak berhasil “mosi Tokro” ini mendapatdukungan luas di kalangan anggota Colksraad pribumi, termasuk para Bupati yang umumnyaloyalis kepada Belanda (Dahm,ibid ). Kehadiran SI mengubah pola perjuangan politik kaumdi kalangan umat Islam dalam melawan penjajahan Belanda, dari perlawanan bersanjata yang bersifat sporadis menjadi sebuah upaya konstitusional yang sistematik dan sinergis.Pengalaman yang lebih utuh dari politisi Muslim dalam politik demokrasi terjadisetelah masa kemerdekaan, yaitu ketika Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)didirikan pada November 1945. Masyumi berhasil menggalang dukungan dari organisasi-organisasi Islam besar kala itu, dan meneguhkan diri sebagai satu-satunya kendaraan politik umat yang memperjuangkan cita-cita politik Islam dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Ketika Dewan Perwakilan Rakyat diresmikan pada 1950, Masyumi menjadi partai politik terbesar di badan legislatif tersebut, dengan 45 kursi dari total 232 anggota parlemen(21,1%). Saingan terdekat Masyumi adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang mendapat36 kursi atau 15,5%. Selama periode Demokrasi Parlementer (1950-1960) Masyumi berhasil menduduki jabatan top executivesebagai Perdana Menteri sebanyak tiga kali: Mohammad Natsir (1950-1951), Sukiman Wiryosanjoyo (1951-1952) dan Burhanuddin Harahab (1954-1955), dan ikut menjadi anggota koalisi dalam hampir semua kabinet pemerintahan. Padatahun 1952, faksi NU melepaskan diri dari Masyumi dan membentuk partai Nahdhatul Ulama(NU).
 
13Pada periode ini pengalaman umat Islam dengan prosedur demokrasi menjadi lengkapdengan dilaksanakannya Pemilihan Umum pada tahun 1955 untuk memilih anggota Legislatif (DPR) dan anggota Konstituante. Masyumi sendiri memainkan peranan penting dalam pelaksanaan Pemilu, karena waktu itu sedang memegang pemerintahan di bawah PerdanaMenteri Burhanuddin Harahap. Politik Islam dalam pemilu ini berhasil mendapatkan Dalamsejarah politik Indonesia, Pemilu 1955 tercatat sebagai salah satu yang paling demokratis, bebas dan transparan. Perjalanan politik demokrasi di Indonesia pada era ini kemudianterhenti ketika Presiden Sukarno membubarkan Dewan Konstituante dan membentuk Zaken
 Kabinet, atau kabinet karya, yang diangkat bukan dari partai politik anggota parlemen.Masyumi sendiri akhirnya dilarang oleh pemerintah karena keterlibatan sejumlah pucuk  pimpinannya dalam PRRI.Tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru di pertengahan 1960-an membukaharapan bagi tumbuh kembalinya politik yang demokratis di Indonesia. Namun ternyata penguasa Orde Baru di bawah dominasi peran politik militer tidak sepenuhnya menginginkansistem politik yang demokratis. Keinginan untuk menghidupkan kembali Masyumi ditolak;sehingga para pendukung Masyumi harus membentuk partai baru bernama Partai MusliminIndonesia (Parmusi) pada 1967, tanpa boleh dipimpin oleh mantan tokoh Masyumi. Ketika pemerintah Orba akhirnya jadi menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1971—mundur empattahun dari jadual seharusnya karena pihak militer merasa belum siap—politik Islam majudengan empat partai partai dan mendapatkan 43,5% suara nasional



Tahun 1973 pemerintah mengeluarkan UU No. 3/1975 tentang Partai Politik danGolongan Karya, dimana partai-partai politik yang ada digabung ke dalam dua partai: empat partai Islam digabungkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan lima partai nasionalis dan Kristen—PNI, Partai Kristen, Partai Katolik, IPKI dan Partai Murba— digabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hingga 1997 kedua partai ini berkompetisi dengan Golkar dalam lima Pemilu yang digelar secara rutin setiap lima tahunsekali, namun karena mengalami diskriminasi sistemik dari rezim penguasa, maka keduanyatidak banyak memiliki kemampuan menggalang kekuatan politik. Demikian pula dalamParlemen (DPR/MPR), dibawah kontrol dan tekanan sistem politik yang repressif dansentralistik lembaga legislatif tersebut tidak lebih dari stempel dari program-program politik 
https://htmlcdn.scribd.com/4bvty5sbpc27s663/images/14-77d7aa7970.jpg
 
dan kebijakan eksekutif. Akibatnya, peran dan kemampuan politik Islam di DPR/MPR punsangat terbatas.
Pemilu-Pemilu Orde Baru
Pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru pada Mei 1998, Indonesia mulai membukalembar sejarah politik baru yang lebih demokratis, dan dimulailah era Reformasi. Sebenarnya,dari perspektif kajian demokrasi proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia bukanlahReformasi ( Reform) dimana kekuatan oposisi mendesak dan menggusur tatanan dan kekuatanstatus quo, melainkan lebih merupakan sebuah Pakta ( Pact ) yaitu proses dimana kekuatan status-quo
menyerahkan kekuasaan dan bekerjasama dengan pihak oposisi (Karl, 1990: 2)— meski dalam kasus Indonesia hal itu karena tekanan kuat pihak-pihal oposisi. Ini dibuktikandengan kenyataan bahwa pasca lengsernya Suharto pemegang kekuasaan di politik maupun birokrasi masih orang-orang Orde Baru.Pada era reformasi ini politik Islam datang sebagai kekuatan yang bergemuruh bagaikan lahar yang hendak muntah, setelah lebih dari tiga dekade dipendam dan dihimpitoleh politik Orde Baru. Ketika Pemilu 1999 dilaksanakan—yang mengingatkan orang kepada
https://htmlcdn.scribd.com/4bvty5sbpc27s663/images/15-29783abd4a.jpg
 
16Pemilu 1955—belasan partai Islam sempat terbentuk, karena waktu itu belum ada syaratkhusus untuk membentuk sebuah partai politik. Namun dari sekian banyak partai Islam yangsempat muncul hanya enam partai Islam yang berhasil ikut Pemilu dan mendapatkan kursi diDPR, dengan total perolehan suara 34,05% pemiliha nasional. Dalam Pemilu berikutnyatahun 2004 politik Islam diwakili oleh enam parpol—PKB, PPP, PKS, PAN, PBB dan PBR,dengan total perolehan yang meningkat menjadi 37,56%.
Hasil Pemilu 1999Hasil Pemilu 2004
https://htmlcdn.scribd.com/4bvty5sbpc27s663/images/16-9316515694.jpg
dengand adanya sistem yang stabil dan berkelanjutan maka aktor politik akan dapatmelanjutkan perjuangan dan meraih kemenangan di masa depan. Sebaliknya, tindakan politik yang merusak sistem lebih mahal ketimbang kemenangan karena beresiko hilangnyakompetisi politik yang tanpa kekerasan (Norden, 1998).Kemampuan para politisi Muslim Indonesia melakukan kompromi dan konsensus politik sudah terjadi sejak masa pendirian Sarekat Islam, dimana dalam konteks pemerintahan penjajah SI tidak menuntut kemerdekaan melainkan sekedar otonomi politik. Dalam sejarah politik strategi ini dikenal dengan pendekatan kooperatif, atau “co”. Pimpinan SI menyadari bahwa tanpa kehendak untuk kompromi tidak mungkin mereka diperbolehkan membuatgerakan dan organisasi. Dan terbukti, dengan kesediaan mengadakan kompromi denganrealitas politik yang ada SI berhasil menggalang kekuatan politik yang belum pernah terjadisebelumnya. Strategi SI sempat bergeser menjadi non-kooperatif, “atau
non-co” pasca penangkapan Tjokroaminoto setelah kerusuhan di beberapa wilayah tahun 1920. DalamKonggres Nasional tahun 1923 SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), danmengagendakan dua perubahan kebijakan:

 pertama, menolak bergabung ke dalamVolksraad ,dankedua, mengubah tujuan perjuangan dari otonomi menuju tuntutan kemerdekaan penuh bagi negara Indonesia (Suradi, 1997: 50-52).Kemampuan melakukan kompromi yang luar biasa dari aktor-aktor politik Islam jugaterjadi pada momen menjelang kemerdekaan republik Indonesia 1945. Dalam rangkaian rapatPanitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para politisi Islam yang memilikikekuatan politik besar berhasil memasukkan dua agenda penting dalam penyusunanRancangan Undang Undang Dasar (UUD) tertanggal 16 Juli 1945, yaitu pada Bab XI Pasal29, yang menyatakan “ Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajibanmenjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun karena protes dan desakan dari wakil-wakil non-Muslim—dan juga dari kalangan Muslim sendiri, seperti Sukarno, Hatta dan AgusSalim—tujuh kata tersebut dihilangkan ketika UUD tersebut disahkan tanggal 18 Agustus1945 (YAPETA, 1995: 108-142). Kompromi ini diambil berdasarkan konsensus untuk mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yaitu kemerdekaan Indonesia sebagai negarayang bersatu. Dan Sukarno-Hatta sendiri memberikan konsesi kepada kalangan Islam denganmembentuk Departemen Agama (van Dijk, 1981: 48-55)Di era demokrasi parlementer Masyumi juga lincah memainkan politik kompromi.Ketika Natsir terpilih menjadi formatur dan membentuk kabinet, dia tidak mengajak PNI—  partai terbesar kedua—ke dalam kabinetnya, dengan harapan agar program-programrasionalisasi politik dan birokrasi bisa berjalan lebih efektif. Namun keputusan ini membuat kabinet Natsir tidak memiliki dukungan kuat di Parlemen dan membuatnya jatuh setelah berkuasa selama sekitar sepuluh bulan. Pada kesempatan berikutnya, ketika Sukiman menjadiPerdana Menteri ia pun berkoalisi dengan PNI, dengan akibat berkurangnya jatah kursimenteri Masyumi dan juga harus mengakomodir agenda-agenda TNI yang konfrontatif dalammenangani hubungan dengan dunia internasional dalam situasi negara yang masih belumstabil—sementara Masyumi sendiri cenderung kooperatif dan akomodatif (Feith, 1962: 177-214).Satu catatan yang penting untuk dikemukakan di sini adalah kasus NU yang, berbedadengan Masyumi, mau menerima kebijakan Demokrasi Terpimpin dari presiden Sukarno.Yang lebih spektakuler lagi, NU bersedia bergabung dalam program NASAKOM—yaitu politik tiga-kaki yang menggabungkan kekuatan Nasionalis (PNI), Agama (NU), danKomunis (PKI). Banyak kalangan menganggap langkah ini tidak lebih dari oportunisme politisi NU sekedar untuk mendapatkan jatah kekuasaan dengan menghalalkan segala jalan. Namun pengamatan yang lebih dekat tidaklah sesederhana itu. Di kalangan NU sendirikeputusan untuk bergabung dengan politik Nasakom Sukarno juga mendapatkan resistensiinternal. Dan, yang lebih penting, NU tidak pernah sepenuhnya berkoalisi dengan PKI dalam program-program politik mereka, dan malah lebih dekat dengan tentara yang notabene adalahmusuh utama PKI. Pada tahun 1963, misalnya, Idham Khalid adalah satu-satunya pemimpin partai yang mendukung pendirian SOKSI (Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia)yang didirikan tentara (Feillard, 1965: 53)Kesanggupan melakukan kompromi dan konsensus politik pada tingkat elite jugasangat nyata sepanjang sejarah Orde Baru. Dalam kasus pendirian Parmusi, para politisi Islamrela menerima desakan kalangan militer yang menolak Mohammad Roem sebagai ketua partai, dan bersedia memilih H.M.S Mintareja yang dekat dengan kalangan penguasa(Abdillah, 1999: 42; Hefner, 2000: 179). Sikap komrpomis—yang bahkan terkesan sekedar akomodatif—cukup jelas terlihat dalam sejarah PPP di bawah tekanan politik yang sangatkuat dari pemerintah Orde Baru. Misalnya, pemerintah merekayasa pergantian pimpinan PPPdari Mintareja ke John Naro tanpa melalui konggress, untuk memuluskan agenda politik massa-mengambang. Demikian pula, politik Islam dibuat tidak berdaya ketika pemerintahmengeluarkan “kebijakan azas tunggal,” dimana seluruh organisasi sosial politik harus berdasarkan Pancasila. Akhirnya, pada konggres nasional tahun 1984 PPP mengubak dasar-nya dari Islam menjadi Pancasila, dan mengganti lambang partai dari Ka’bah menjadi Bintang(Effendi, 1998: 121).
 
Dalam kasus Parmusi dan PPP ada yang melihat bahwa apa yang terjadi bukanlahkompromi politik yang strategis melainkan kooptasi atas politisi Islam di bawah cengkeramanotoritarianisme Orde Baru (Karim, 1999). Namun perlu diingat bahwa dalam konteks inikompromi elite bukan sekedar persoalan strategi politik, melainkan justru ideal politik untuk menempatkan keutuhan sistem sebagai kepentingan tertinggi. Sebab dalam sejarah politik  bangsa ini telah terbukti berulang-kali para aktor politik Islam tidak bisa menerima kekalahandan memutuskan untuk menggunakan cara-cara kekerasan untuk melanjutkan cita-cita politik mereka—seperti Haji Misbach di tahun 1920-an dan juga pemberontakan DI/TII 1948-1964.Ketika mereka memilih jalan kekerasan, di saat yang sama mereka sedang menempatkankeutuhan bangunan sistem politik dalam bahaya, karena strategi itu pasti akan memicu spiralkekerasan yang akan memakan biaya politik sangat tinggi. Sehingga, meski secara empirik sejarah PPP adalah sejarah ketidak berdayaan politik Islam, namun dari kacamata praktik-demokrasi di sana terdapat semangat dan komitmen konstitusionalisme.Pengalaman selama satu abad melakukan kompromi dan konsensus politik di atasmembuat para aktor politik Islam kontemporer tidak mengalami kesulitan ketika harusmendorong laju demokratisasi pasca berakhirnya rezim Orde Baru. Meskipun pada awalnyasempat terjadi kegamangan, ketika para pendukung politik Islam bergabung dalam PorosTengah pasca Pemilu 1999, dan berfikir sedang menghadapi ancaman musuh-bersamakelompok-kelompok anti-Islam, namun hal itu lebih karena ketidakpastian politik yang terjadi pasca suksesi kepemimpinan nasional. Ketika sistem demokrasi semakin stabil, maka para politisi Islam pun dengan leluasan dapat bekerjasama dengan kelompok lain. Bahkan PKSyang paling konservatif-pun sempat berkoalisi dengan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berideologi Kristen dalam sebuah pemilihan kepala daerah (Pilkada) (Permata, 2008: 256).

3.3. Partisipasi Publik 
Terakhir, pengalaman praktik demokrasi Muslim di Indonesia terjadi dalam bentuk  partisipasi politik publik. Faktanya, partisipasi politik publik merupakan salah satu hal yangmembedakan sistem politik demokrasi dengan sistem-sistem yang lain. Dalam sistem politik non-demorkatis—apapun bentuknya—politik adalah hak eksklusif kalangan elit: bangsawandalam sistem monarkhi, militer dalam sistem diktator, atau kelompok kaya dalam sistem plutarkhi. Meski banyak pula ilmuwan yang mengatakan bahwa dalam demokrasi pun proses politik sebenarnya berada di tangan para elit (Michels, 1911), namun ada fakta yang tidak bisadibantah bahwa dalam demokrasi ada ruang dimana rakyat kebanyakan memiliki ruang dankesempatan untuk berpartisipasi menyatakan pendapat dan pilihan politik mereka.

Dalam sejarah politik umat Islam di Indonesia partisipasi politik publik terjadi dalamdua bentuk.

 Pertama, partisipasi langsung dalam keikutsertaan menjadi anggota organisasidan partai politik, dimana rakyat berkesempatan mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka yang secara langsung mempengaruhi proses dan konstelasi kompetisi kekuasaan; dan
Kedua ,partisipasi tidak langsung dalam bentuk asosias-asosiasi non-politik yang dalam bahasa yang lebih populer dikenal dengan komunitas masyarakat sipil (civil societyorganizations) dimana masyarakat membentuk ruang-ruang independen untuk mengorganisir kepentingan-kepentingan kolektif mereka.Partisipasi politik langsung umat Islam non-elit dalam proses perebutan kekuasaansudah terjadi sejak berdirinya SI. Keberhasilan SI menghimpun dukungan publik yangspektakuler tentu bukan hanya hasil kelihaian para pimpinannya dalam menggerakkan massa,melainkan juga mencerminkan kehausan publik Muslim untuk terlibat langsung dalam proses politik partisan. Bernard Dahm mencatat bahwa ketika didirikan pada bulan April 1912 SI berhasil menghimpun 4.500 anggota. Jumlah ini meningkat drastis menjadi menjadi 66.00orang hanya dalam empat bulan. Bulan April 1913 kenggotaan SI melonjak menjadi 150.000orang, dan satu tahun kemudian, pada April 1914, jumlah ini berlipat menjadi 366.913 orang(Dahm, 1971: 40).Luapan partisipasi publik umat Islam ini juga terlihat dalam momen Pemilu 1955,ketika total suara partai-partai Islam mencapai 43,5% dari total pemilih nasional—Masyumi20,9%, NU 18, 4%; PSII 2,9%; dan PERTI 1,3%. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritasMuslim di Indonesia memiliki kesadaran akan proses politik yang ada, dan berkeinginanmelibatkan diri dalam proses tersebut melalui mekanisme yang disediakan.Dilihat dari ukuran partisipasi elektoral, dukungan publik terhadap politik Islammenurun drastis di era Orde Baru, dimana empat partai Islam pada Pemilu 1971 hanyamendapatkan 27,2%. Dalam lima pemilu berikutnya PPP meski sedikit mengalami kenaikan juga terhitung sangat rendah jika dibanding perolehan tahun 1955—Pemilu 1977: 29,3%;1982: 28%; 1987 merosot jauh menjadi hanya 16%; 1992: 16% dan pada Pemilu 1997:22,4%. Di era Reformasi perolehan suara elektoral partai-partai Islam mengalami kenaikandrastis, dimana pada Pemilu 1999 mendapatkan 34,3% suara nasinal, dan pada Pemilu 2004kembali naik menjadi 37,5%.Meski pasca 1955 partisipasi publik dalam mendukung politik Islam mengalami penurunan, namun ada perkembangan lain yang menarik untuk dicatat, yaitu perkembangan partisipasi politik dari tahapan parokhial menuju tahapan subject dan bahkan menjadi partisipasi matang pada tingkat output 


. Pada era Sarekat Islam hingga Masyumi publik Islam
 
Indonesia belum bisa sepenuhnya membedakan ranah agama dan ranah politik. Mereka masihcenderung melihat keduanya sebagai identik, yaitu bahwa partisipasi politik adalah tindakanyang berlandaskan niatan agama, dan keputusan-keputusan politik juga diterima sebagai pilihan keagamaan. Namun justru di bawah tekanan pemerintah Orde Baru partisipasi politik umat Islam mengalami pematangan, dimana mereka mulai bisa membedakan ranah politik dari agama.Contoh pertama adalah aktivitas para politisi ex-Masyumi di bawah ketokohanMohammad Natsir yang, setelah aktivitas politik mereka dilarang pemerintah Orde Baru,mengalihkan kegiatan mereka kepada aktivitas dakwah keagamaan yang tidak memilikikaitan langsung dengan politik praktis. Ini menjadi momen penting ketika umat Islam bisamembedakan bahwa kegiatan keagamaan tidak selalu harus mengimplikasikan keterlibatan politik. Perkembangan inilah yang kemudian memunculkan apa yang dikenal dengan “Islamkultural”—yaitu pendekatan pengembangan Islam tanpa melalui jalur politik kekuasaan.Sebagaimana dijabarkan Bachtiar Effendy dalam karya disertasinya, “Islam kultural” ini bukanlah lawan dari “Islam struktural”—Islam yang bercampur dengan politik kekuasaan— melainkan merupakan satu kesatuan (Effendy, 1998). Artinya, publik Muslim mulai bisamenerima bahwa beragama bisa melalui jalur politik, namun bisa juga tidak—i.e. agama berbeda dari politik.Kematangan partisipasi politik ini makin berkembang ketika Nurcholish Madjidmemproklamirkan manifestonya yang legendaris: “IslamYes, Partai Islam No”. Momen inimenandai makin matangnya pemahaman publik Muslim, bukan hanya bahwa agama berbedadengan politik, namun yang lebih penting lagi bahwa agama dan politik memiliki domainyang berbeda dan memiliki mekanisme yang berbeda pula. Sejak itu partisipasi politik Muslim semakin memiliki jarak dengan simbol-simbol politik Islam. Sehingga, kemerosotan perolehan suara partai-partai Islam sejak Orde Baru sama sekali tidak mencerminkankemerosotan partisiapasi politik umat Islam. Sebab mereka sudah mulai belajar—meski bermula dari keterpaksaan—bahwa aspirasi politik adalah upaya untuk meraih ataumenciptakan kebaikan kehidupan kolektif ( public goods), yang tidak harus disalurkan melalui partai-partai Islam. Partisipasi publik pada level output inilah yang kita saksikan hingga erareformasi sekarang ini, dimana komitmen keagamaan tidak selalu identik dengan afiliasi politik.Sedangkan partisipasi politik tidak langsung dalam bentuk asosiasi masyarakat sipil,Muslim Indonesia barangkali adalah yang terbaik diantara di seantero Dunia Islam. Untuk menghemat ruang, barangkali sudah akan cukup untuk membahas dua organisasi-sipil Islam terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dan NU. Dua organisasi besar ini merepresentasikaninisiatif partisipasi politik umat Islam Indonesia dalam dua matra:

Pertama
, keduanya menjadi penyambung cita-cita kebangsaan untuk mendidik dan memperbaiki kehidupanrakyat. Melalui organisasi-organisasi ini umat Islam berkumpul, belajar dan berjuangmembangun kehidupan yang lebih baik, bukan hanya secara spiritual melainkan juga dalamkehidupan duniawi seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

 Kedua
, melaluiMuhammadiyah dan NU umat Islam menciptakan ruang-ruang politik otonom yangterlindung dari intervensi dan rekayasa politik negara—terutama di era Orde Baru—dimanamereka bisa memikirkan, mendiskusikan dan merancang kehidupan bersama yang lebih baik.Secara politik kedua organisasi besar ini menjadi wadah persemaian demokrasi, dan terbuktiketika katup demokratisasi terbuka pasca berakhirnya Orde Baru, keduanya menyumbangkan peran fundamental—dan bahkan pemimpin kedua organisasi tersebut berhasil menduduki dua jabatan politik paling penting: Abdurrahman Wahid mantan ketua NU menjadi presiden, danAmien Rais mantan ketua Muhammadiyah menjadi Ketua MPR.

5. PENUTUP
Dari uraian di atas akan jelas bahwa demokrasi merupakan praktik yang memiliki akar cukup panjang dalam sejarah politik umat Islam Indonesia. Sejak berdirinya Sarekat Islamsebagai tonggak sejarah baru—yaitu lahirnya politik konstitusionalisme, dan berakhirnya politik konfrontasi bersenjata—umat Islam di Indonesia perlahan tapi pasti mulai mengadopsi praktik-praktik politik yang demokratis. Secara konseptual, praktik demokrasi dapatdikelompokkan ke dalam tiga kategori, (i) tataran proseduran-institusional, (ii) kompromo dankonsensus elit, serta (iii) partisipasi publik. Dalam ketiga level ini Muslim Indonesia tercatatcukup aktif dan kreatif dalam menjalankan aktivitas, pergulatan dan konflik politik melaluicara-cara yang sesuai dengan aturan main yang disepakati (konstitusional).Fakta ini sekaligus membantah anggapan yang sempat beredar luas di kalanganilmuwan politik bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi—termasuk klaim SamuelHuntington bahwa apa pun kata orang secara teori dalam praktik belum pernah ada negaraIslam yang mengenal sistem demokrasi. Kekeliruan pernyataan ini sebenarnya berakar pada pemahaman yang simplistik mengenai Islam, yang diidentikkan dengan tradisi danmasyarakat Arab Timur Tengah, sementara demokrasi diasosiasikan dengan tradisi politik Barat.Padahal Islam tidaklah identik dengan Timur Tengah. Muslim di Indonesia faktanyatelah akrab dengan praktik demokrasi sejak awal abad ke-20. Sudah selama sekitar satu abad

Muslim di Indonesia berpartisipasi dalam aktivitas dan perjuangan politik yang dibingkaidalam kerang-kerang demokrasi. Dan pandangan yang mengidentikkan demokrasi denganBarat juga tidak akurat. Benih-benih demokrasi juga tumbuh di dunia Islam pada awalsejarahnya. Dan dalam era modern, demokrasi berkembang di berbagai wilayah dunia dengankonteks yang berbeda-beda, dan konsekuensinya sistem demokrasi yang berkembang diwilayah yang berbeda juga memiliki karakter corak yang berbeda.


Bibliografi
Brinkerhof, Derick W. & Arthur Goldsmith, 2006.
Governance in Post-Conflict Societies
,London: Routledge.Charlisle, Rodney P. 2005.
 Encyclopaedia of Politics: Left and Rights
, Vol 1: Left, NewDelhi: Sage Publication.Dahm, Bernard, (trans. P. S. Falla) 1971.
 History of Indonesia in the Twentieth Century
,London: Pall Mall Press.Derick W. Brinkerhoff & Arthur A. Goldsmith, 2002. “Clientelism, Patrimonialism andDemocratic Governance: An Overview and Framework for Assessment andProgramming”, U.S. Agency for International Development Office of Democracy and Governance.Diamond, Larry, 1999.
 Developing Democracy
, Baltimore: John Hopkins Universty Press.Effendy, Bachtiar, 1998.
 Islam dan Negara: Transformasi dan Praktik Pemikiran Islam di Indonesia
, Jakarta: Paramadina.Esposito, John L. 1984.
 Islam and Politics
, New York: Syracus.Eugene Mazo, 2005. “What Causes Democracy?,”
Working Paper 
at the Center onDemocracy, Development, and The Rule of Law Stanford Institute onInternational Studies.Feith, 1964.
The Decline of Constituional Democracy in Indonesia
, Ithaca: Cornell UniversityPress.Garreton, Manuel Antonio & Edward Newman, 2001.
 Democracy in Latin America:(Re)Constructing Political Society
, United Nations University Press.Hefner, Robert and Patricia Horvatich (ed), 1997,
 Islam in an Era of Nation-States: Politicsand Religious Renewal in Muslim Southeast Asia
, New York: Amazon.Hodgson, Marshal, 1975.
The Venture of Islam, Vol. 1: The Classical Age of Islam
, TheUniversity of Chicago Press.Huntington, Samuel 1991.
The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century
,University of Oklahoma Press. ____________ 1997,
The Clash of Civilizations and the Making of World Order 
, New york:Simon & Schuster.Karim, Rusli 1999.
 Negara dan Peminggiran Islam Politik 
, Yogyakarta: Tiara Wacana.Karl, Teryy Lynn, 1990. “Dilemmas of Democratization in Latin America,”
Comparative Politics
, 23, 1.King, Dwight Y. 2003.
 Half-Hearted Reform: Electoral institutions and the Struggle for democracy in Indonesia
, Connecticut: Praeger.Leszek Koczanowicz and Beth J. Singer, 2005.
 Democracy and the Post-Totalitarian Experience
, Amsterdam: VIBS.Lipset, Samuel Martin & Stein Rokkan, 1967.
 Party Systems and Voter Alignments
, NewYork: Free Press.
 
25Mardin, Serif. 1995. “Civil Society and Islam.”
Civil Society: Theory, History, and Comparation
. Edited by John A. Hall. Cambridge: Polity Press.Mousalli, Ahmad, 2002.
The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights
,Gainesville, FL: University Press of Florida.Mujani, Saiful, 2003. “Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim PoliticalParticipation in Post-Suharto Indonesia,” PhD Dissertation, The Ohio StateUniversity.

Permata, Ahmad-Norma 2008.
 Islamist Party and Democratic Participation: PKS in Indonesia
, Muenster: MIAMIPutnam, Robert D. 2000.
 Bowling Alone : the Collapse and Revival of AmericanCommunity
, New York: Simon & Schuster. ___________ 1993.
Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy
. Princeton, NJ: Princeton University Press.Pye, Lucie, 1985.
 Asian Power and Politics: The Cultural Dimensions of Authority
,Cambridge: Harvard University Press. Norden, Deborah L. 1998. “Party Relations and Democracy in Latin America,”
 Party Politics
, Vo. 4, No. 4 pp. 423-443Rose, Richard. 2002. “How Muslims View Democracy: Evidence from Central Asia.”
 Journal of Democracy
13: 102-111.Van der Kroef, Justus M. 1957. “Indonesia’s First National Election: Sociological Analysis,”
 American Journal of Economics and SociologyAmerican Journal of Economicsand Sociology
, Vol 16, No. 3, pp. 237-247.Van der Kroef, Justus M. 1957. “Indonesia’s First National Election II: SociologicalAnalysis,”
 American Journal of Economics and SociologyAmerican Journal of  Economics and Sociology
, Vol 16, No. 4, pp. 407-420

Tidak ada komentar:

Posting Komentar