Gunung Kelud terbentuk karena pengkhianatan cinta Putri Jenggala, Dewi Kilisuci, terhadap Mahesa Suro dan Lembu Suro. Dewi Kilisuci yang cantik jelita dilamar oleh kedua raja sakti dari bangsa siluman berkepala sapi (lembu) dan berkepala kerbau.
Namun untuk menolak secara langsung, sang putri
tidak tega. Oleh karena itu Dewi Kilisuci membuat
sayembara yang tidak mungkin dipenuhi. Sayembara itu adalah membuat dua sumur
di atas puncak Gunung Kelud. Bukan sumur biasa, karena satu sumur harus berbau
amis dan satu lainnya berbau wangi. Lebih gila lagi, pekerjaan tersebut harus
selesai dalam satu malam, dari matahari terbenam hingga ayam berkokok.
Merasa yakin dengan kesaktiannya, Mahesa Suro dan
Lembu Suro sanggup menyelesaikan tugas tersebut. Dalam waktu semalam, keduanya
berhasil memenuhi syarat yang diajukan sang putri. Namun Dewi Kilisuci tidak
langsung menerima lamaran dua bersaudara tersebut.
Dia kembali mengajukan satu permintaan, yaitu Lembu Sura dan Mahesa Suro harus membuktikan bahwa kedua sumur tersebut benar benar wangi dan amis dengan cara harus masuk ke dalam sumur. Dewi Kilisuci berjanji saat keduanya masuk sumur, dia akan menyiapkan pesta pernikahan yang mewah.
Terpesona dengan iming-iming sang putrid, Lembu Suro
dan Mahesa Suro pun masuk ke dalam sumur yang sangat dalam itu. Begitu keduanya
sampai di dasar sumur, Dewi Kilisuci segera memerintahkan prajurit Jenggala
untuk menimbun sumur dengan batu. Mahesa Suro dan Lembu Suro pun mati di dasar
sumur.
Namun, sebelum mati Lembu Suro bersumpah suatu saat
nanti dia akan membalas perlakuan itu. Dia akan keluar menyebarkan batu dan
api, sehingga Kediri akan menjadi sungai, Blitar menjadi daratan, dan
Tulungagung menjadi danau.
Untuk menggagalkan sumpah tersebut, masyarakat
lereng Gunung Kelud selalu melakukan ritual Larung Sesaji sebagai tolak bala
yang digelar setiap tanggal 23 bulan Suro oleh masyarakat Sugih Waras di lereng
Gunung Kelud.
Desa ini merupakan pemukiman penduduk yang paling
dekat dengan lereng Gunung Kelud. Sejak dahulu, secara turun termurun warga
setempat selalu mempersembahkan sesaji di tepi kawah. Tapi, sejak muncul anak
gunung di kawah, ritual Larung Sesaji dipindah ke kaki anak gunung.
Syarat
utama larung tersebut adalah cok bakal dan jenang sengkala. Syarat ini pernah
dilanggar pada tahun pada 2007. Ketika itu, sesaji larung kurang lengkap.
Alhasil, ritual sesaji yang dilakukan itu hampir membawa bencana.
Apalagi ritual dilakukan di bulan Ruwah yang menurut
perhitungan Jawa kurang baik untuk larung sesaji. Untuk mencegah kemungkinan
buruk dari marahnya Gunung Kelud, masyarakat setempat pun menggelar selamatan
lagi.
Terbukti, tahun 2007 Gunung Kelud meletus dengan
letusan terakhir bersifat efusif (mengalirkan material), berbeda dari latusan
sebelumnya yang bersifat eksplosit (menyemburkan material).
Pada letusan tahun 2007 itu, danau kawah Gunung
Kelud yang berwarna hijau berubah menjadi kubah lava yang mengalirkan material
berwarna hitam dari dalam perut gunung. Ketinggian kubah ketika itu mencapai
250 meter dengan lebar sekitar 400 meter.
Satu hal lagi, Gunung Kelud ternyata juga mempunyai
“kebiasaan” unik. Entah kebetulan atau tidak, namun Gunung Kelud selalu meletus
pada hari pasaran Wage, yaitu hari keempat dalam kalender Jawa. Lihatlah,
letusan kali ini terjadi pada Kamis (13/2) yang menurut penghitungan masyarakat
Jawa sudah masuk Jumat Wage.
Keunikan lagi, Kelud biasa meletus pada malam hari.
Selain itu, sebelum meletus gunung ini selalu memberi tanda dengan suara
gemuruh, seolah mengingatkan warga sekitar gunung untuk menyelamatkan diri.
Warga setempat juga sudah hapal jika Gunung Kelud akan meletus biasanya ada dua
sorot sinar terang masuk ke kawah. Selain itu akan terlihat pula banyak burung
gagak berterbangan di pedesaan.
Lebih unik lagi, angka tahun meletusnya Gunung Kelud
ini juga menarik karena selalu mengiringi peristiwa besar yang akan, sedang,
dan telah terjadi di Tanah Jawa (Indonesia). Letusan besar pada tahun 1951
misalnya, menandai peristiwa pemberontakan Madiun.
Lalu erupsi tahun 1966 seperti menandai terjadinya
G30S/ PKI. Nama Gunung Kelud
berasal dari Jarwodhosok, yakni dari kata “ke” (kebak) dan “lud” (ludira).
Artinya, jika gunung ini murka akan bisa merenggut banyak korban. Banyak warga
setempat yang percaya bahwa kawah Gunung Kelud dijaga sepasang buaya putih. (Dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar