Kamis, 16 Januari 2014

Teori dan Konsep Belajar HUMANISME "psikologi pendidikan"



nah akunya ada sedikit pembahasan tentang teori dalam psikologi pendidikan.untuk teman teman yang saat ini memiliki tugas yang sama,bisa di jadikan sedikit acuhan meskipun tugas yang saya buat ini kurang bagus :D

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Aliran humanisme  muncul pada tahun 90-an sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relative masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yag relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan ha-hal yang bersifat positif tentang manusia.
Pengertian humanisik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan yang beragam pula. Teori humanisme menyatakan bahwa bagian terpenting dalam proses pembelajaran adalah unsure manusianya. Humanisme lebih melihat sisi perkembangan kepribadian manusia dibandingkan berfokus pada “ketidaknormala”atau “sakit”.manusia akan mempunyai kemampuan positif untuk menyembuhkan diri dari “sakit” tersebut, sehingga sisi positif inilah yang ingin dikembangka oleh teori humanisme

Teori belajar humanisme bertujuan bahwa belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika telah memhami lingkungan dan dirinya sendiri. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya bukan dati sudut pandang pengamatnya. Teori belajar ini sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang ilmu filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dibanding tentang psikologi belajar. Teori humanisme lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan unttuk membentuk manusia yang dicita-citakan serta tentang proses belajar dalam bentuk yang paling ideal.
 Selain teori behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanisme juga perlu untuk dipahami. Menurut teori humanisme, proses belajar harus dimulai dan ditunjukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori humanisme sifatnya lebih abstrak dan mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanisme sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pemahaman tentang prosesbelajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya

1.2 Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud aliran humanisme?
2.    Bagaimana pengertian konsep dari teori belajar humanisme ?
3.        Siapakah tokoh – tokoh dalam teori humanisme ?
4.        Apa kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme?
5.        Bagaimana pendekatan teori belajar humanisme
6.        Bagaimana aplikasi teori humanisme dalam pendidikan ?
7.        Sebutkan  model pembelajaran teori belajar humanisme?
1.3 Tujuan
1.        Untuk memahami pengertian aliran humanisme
2.        Untuk dapat mengetahui teori belajar humanisme
3.        Untuk mengetahui tokoh – tokoh yang berperan dalam teori humanisme
4.        Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori humanize
5.        Untuk  mengetahui pendekatan belajar humanisme
6.        Untuk mengetahui aplikasi teori humanise dalam pendidikan
7.        Untuk mengetahui model pembelajran  teori belajar humanisme









BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Aliran Humanisme
                     Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Humanistik berkembang menjadi a third force atau a third power atas reaksi terhadap dua aliran psikologi sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisme/ psikoanalisa. Psikologi behaviorisme dipelopori oleh ivan Pavlov, behaviorisme merupakan aliran yang mempelajari perilaku individu yang diamati dengan tujuan untuk meramalkan dan mengontrol tingkah laku individu tersebut. Behaviorisme memandang manusia ibarat makhluk mekanistik yang dikendalikan kekuatan dari luar dirinya.
2.2     Pengertian Teori Belajar Humanisme 
                   Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusikan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56).
            Senada dengan pendapat di atas, belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39).
            Awal timbulnya psikologi humanistis terjadi pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial, konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenalkan dengan psikologi humanistis, eksternal, perseptual atau  fenomenologikal. Psikologi ini berusaha memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku (behavior), bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini (Herpratiwi, 2009: 37).
                 Perhatian psikologi humanistik terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Gerakan munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam kesadaran bersama beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi yang berkemampuan menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang sewajarnya mengfungsikan manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada dasarnya mempunyai kapasitas serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya (Herpratiwi, 2009: 37).
            Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme berfokus pada sikap dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar pencarian. Maka yang unik didalam dunia yang tidak bermakna, berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang lain keterhinggaan, kematian, dan kecenderungan mengaktualisasikan diri. Perkembangan pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu. Teori ini berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan. Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38).
            Senada dengan pendapat di atas, konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 57).
            Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan serta bagaimana mereka akan mempelajarinya merupakan ciri utama pendekatan humanisme. Bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated leaner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka  memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan dan mereka hindari pemberian nilai dan tes standar atau evaluasi formal lainnya. Pengertian humanisme yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Kata humanisme dalam pendidikan, dalam artikel “what is humanistic education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanisme (Herpratiwi, 2009: 38).
                 Beberapa ciri khas yang dominan dalam psikologi humanisme sebagai berikut.
·      Mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya memperlakukan “keseluruhan kepribadian manusia” meliputi seluruh aspek-aspeknya.
·      Mereka menekankan kepada aktivitas dari sudut pandang personnya dari sudut pandang “peninjau” (observer). Pengikut psikologi humanisme menyatakan bahwa dalam melihat manusia sebagian besar ahli-ahli psikologi mengambil sudut pandang orang ketiga, sedangkan cara yang paling nyata untuk mempelajari psikologi ialah melalui “mata person” yaitu dirinya sendiri.
·      Mereka juga menekankan kepada “self-actualization”, “self-fulfillment” atau “self-realization”.
·      Mengenai perkembangan pribadi seseorang dalam arah apapun, orang tersebut selalu memilih atau menilai (Herpratiwi, 2009: 40).
    
                        Nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam pendidikan humanisme sebagai berikut.
Ø  Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
Ø  Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap problem orang lain).
Ø  Menjaga lingkungan (menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll. Menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain).
Ø  Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan publik).
Ø  Perkembangan pribadi (menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani, terhormat dan patriotik, serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).
                 Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus kepada “ketidak normalan” atau “sakit” seperti dilihat oleh teori psikoanalisa freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini (Herpratiwi, 2009: 42).
                        Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam dominan efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidiknya yang beraliran humanisme juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih luas mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).
                 Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu dalam perkembangan, sementara humanisme melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari para  pendidik beraliran humanisme. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).
2.3     Tokoh – Tokoh Dalam Teori Humanisme
                   Tokoh penting dalam teori belajar humanitik secara teoritik antara lain adalah : Arthur Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers..
1.      Arthur Combs
                 Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya. Sesungguhnya para ahli psikologi humanisme melihat dua bagian belajar, yaitu diperoleh informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut.
a.         Pemerolehan informasi baru
                 Peserta didik akan tertarik dan bersemangat untuk belajar jika apa yang dipelajari akan menjadi suatu informasi baru yang bermakna dan bermanfaat bagi dirinya.
b.         Personalisasi informasi baru
                 Informasi baru yang dipahami peserta didik itu bukan hasil transfer langsung dari guru ke peserta didik. Peserta didik sendirilah yang mecerna dan mengolah apa yang disampaikan oleh guru menjadi sesuaidan bermakna. Atrinya informasi itu diperolehnya sendiri dan peserta didik menjadi pemilik informasi tersebut. Peran guru disini adalah sebagai pembimbing yang mengarahkan.
                        Keliru jika guru berpendapatbahwa murid akan mudah belajar kalua bahan pelajaran disusun dengan rapid an disampaikan dengan baik, tetapi arti dan maknanya tidak melekat pada bahan ajar itu, murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana pelajaran itu disampaikan,tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.
            Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri),semakin kurang pengaruhnya terhadap seseoarang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah maka semakin  banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena tidak adakaitanya sama sekali dengan dirinya.
2.      Abraham Maslow
            Abraham H. Maslow adalah tokoh yang menonjol dalam psikologi humanisme. Karyanya di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting didasrkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan.
            Maslow, berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah yang paling asasi sampai dengan kebutuhan tertinggi. Kebutuhan tersebut terbagi dalam lima tingkatan yaitu:
a. Kebutuhan jasmaniah atau dasar (basic needs), seperti makan, minum, tidur, dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan.
b.  Kebutuhan akan rasa aman (safety needs), kebutuhan kesehatan, keamanan lingkungan, lapangan kerja, sumber daya, dan terhindar dari bencana.
c.  Kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belongingnees needs), butuh cinta,   persahabatan, dan keluarga,kebutuhan menjadi anggota kelompok, dan sebagainya.
d.Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), butuh kepercayaan diri, harga diri, prestasi, dan penghargaan dari orang lain.
e.   Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), moralitas, kreativitas, dan ekspresi diri.
            Maslow membedakan antara empat kebutuhan pertama dengan satu kebutuhan yang berikutnya (kebutuhan teratas). Keempat kebutuhan yang pertama disebut deficiency neds (kebutuhan yang timbul karena kekurangan) pemenuhan kebutuhan ini pada umumnyabergantung pada orng lain. Sedangkan satu kebutuhan yang lain dinamakan growth needs (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.
            Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinyankebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil,tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman.
            Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinnya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bias menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti.bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, smalaman tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi/keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.
3.      Carl R. Rogers

                        Metode yang diterapkan Rogers dalam psikoterapi awalnya disebut non directive atau terapi yang berpusat pada klien (client centered therapy), dan pioneer dalam risetnya pada proses terapi. Pendekatan terapi yang berpuast pada klien dari Rogers sebagi metode untuk memahami orang lain, menangani masalah-masalah gangguan  emosional. Rogers berkeyakinan bahwa pandangan humanisme dan holism terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam teorinya, klien diajak untuk memahami diri dan pada akhirnya menyadari untuk mengembangkan diri secara utuh dan lebih dapat menjadi dirinya sendiri.

            Lima sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):
a.              Keterbukaan pada pengalaman
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel sehingga timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan banyak mengalami emosi (emosional) baik yang positif maupun yang negative.
b.             Kehidupan ekstansial
Kualitas dari kehidupan ekstansial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu berubah dan cenderung menyesuaikan diri sebagai respon atas pengalaman selanjutnya.
c.              Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasakannya benar (timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.
d.             Perasaan bebas
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan antara alternative pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya masa depan tergantung pada dirinya sendiri, tidak pada peristiwa pada masa lampau sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupanya dan merasa mampu melakukan apa yang saja yang ingin dilakukanya.
e.              Kreatifitas
          Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan cirri-ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respon atas stimulus kehidupan yang beraneka ragam disekitarnya.

                        Calr R. Rogers merupakan ahli psikologi humanisme yang gagasan-gagasnnya berpebgaruh terhadap pukiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pedidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan , Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsis-prinsip belajar humanisme.Dalam buku Freedom to Learn, Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar humanisme yang penting adalah sebagia berikut :

1.             Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2.             Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3.             Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.             Tugas-tugas belajar yang mengancam diri mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5.             Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6.             Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
7.             Belajar diperlancar jika peserta didiknya dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar.
8.             Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9.             Keprcayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan,kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika peserta didiknya dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10.         Belajar yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuan kedalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
                  Berdasarkan  prinsip-prinsip  belajar yang dikemukakan oleh Rogers diatas, secara singkat inti prinsip belajar humanism adalah sebagai berikut :
a.       Hasrat untuk Belajar
           Menurut Rogers,manusia mempunyai hasrat alamiah untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tau anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanisme. Di dalam kelas yang humanism anak-anak diberi kesempatan dan bebas untuk memuaskan dorongan ingin tahunya,  untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.



b.       Belajar yang berarti
           Belajar akan mempunyai arti atau mekne apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar adengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
c.        Belajar tanpa ancaman atau hukuman
           Belajar mudah dilakukan dan hasilanya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman atau hukuman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuanya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tan pa mendapat kecaman yang biasanya menyinggung perasaan.
d.       Belajar atas inisiatif sendiri
           Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk  “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn). Tidak perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak ebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik paa proses maupun hasil belajar.
           Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadibebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melekukan penilaian. Dia juga lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kuran bersandar pada penilaian pihak lain.
           Disamping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif, maupun afektif. Rogers dan para ahli humanisme yang lain menanamkan jenis belajar ini sebagai whole – person learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanisme percaya, bahwa belajar dengan tipwe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.
e.       Belajar dan perubahan
           Terakhir yang dikamukakan oleh Rogers ialah bahwa yang paling bermanfaat ialah belajar tentang proses belajar. Menurut Rogers, diwaktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan teknologi selalu maju dan melaju.apa yang dipalajari di masa lalu tidak membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

2.4     Kelebihan dan Kekurannga Teori Belajar Humanisme
            Di bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan teori belajar humanistik, sebagai berikut.
a.     Kelebihan teori belajar humanisme
            Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
b.    Kelemahan teori belajar humanisme
            Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurnag aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal dlaam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).

2.5     Pendekatan Teori Belajar Humanisme
                  Pendekatan pembelajaran humanisme memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain.  Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanisme ialah pendekatan reflektif, dialogis, dan ekspresif. Pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berfikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog, pendekatan dialogis menagajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktualisasi diri). Dengan demikian, pendidik tidak mengambil alih tanggung jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri. Penentuan sikap dan pemilihan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya (Herpratiwi, 2009: 57).
                  Pendidikan yang humanistik menekan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama ialah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antar pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunikasi sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cinta kasih atas mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta, hati yang penuh pengertian serta relasi pribadi yang efektif. Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur. Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirnya secara optimal (Herpratiwi, 2009: 57).
                  Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan siswa dan mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif ialah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikanya ialah peserta didik menemukan, mengembangkan, dan mencoba mempraktikan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa ialah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif. Peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian memfungsikan dirinya di dalam masyarakat secara optimal (Herpratiwi, 2009: 58).
                  Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya ialah pertumbuhan dan perkembangan diri siswa secara utuh sehingga meraka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik alam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan humanistik serta mengembangkan cara aktif-positif dan keterampilan memadai. Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan dibidang intelektual, emosi/ perasaan, afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya ialah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi lebih bermanusiawi, berguna dan berpengaruh di dalam masyarakat, bertanggung jawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun humanis (Herpratiwi, 2009: 58).
2.6     Aplikasi Teori Belajar Humanisme
                              Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dalam pendidikan. Dalam artikel “What is The Humanistic Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).
                        Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 64)
            Pandangan kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses pembelajaran tetapi yang terpenting ialah  memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran sidentitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
            Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir pasif akan tetapi justru guru harus  berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan paham betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61).
            Siswa berperan  sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih menitik beratkan pada proses belajar daripada hasil belajar. Adapun proses yang umunya dilalui sebagai berikut.
a.         Merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas.
b.        Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
c.         Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d.        Mendorong siswa untuk peka berfikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e.         Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat memilih pilihanya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang ditunjukan. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala risiko perbuatannya atau proses belajarnya.
f.          Memberikan kesempatan kepada murid untuk maju sesuai dengan kecepatanya. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).
             Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).
             Psikologi humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai berikut.
a.         Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
b.        Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.         Fasilitator mempercayai adanya keinginan dan masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna.
d.        Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar yang paling luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk mencapai tujuan mereka.
e.         Fasilitator menempatkan dirinya disuatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.          Di dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, guru menerima baik yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun bagi kelompok.
g.         Bilamana kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h.         Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaanya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.           Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
j.          Di dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri (Herpratiwi, 2009: 62).
            Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik ialah guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada (Herpratiwi, 2009: 62).
2.7     Model Pembelajaran Humanisme
            Model pembelajaran humanistik yang dapat dijelaskan dalam makalah ini, sebagai berikut.
a.         Humaning Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini tertumpu pada tiga ha, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
b.        Active Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active Learning cara belajar dengan mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah dengan membelajarkan.
c.         Quantum Learning merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan belajar dan neurolenguistik dengan teori keyakinan dan  metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
d.        The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar darai pembelajaran ini berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic, auditory, visual  dan intellectual (SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning bay talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Naun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan  pengalaman belajar efektif (Herpratiwi, 2009: 58-60).
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu, humanisttik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan ini.





















DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar