BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Aliran
humanisme muncul pada tahun 90-an
sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik.
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relative
masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan
konsep yag relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan
pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan ha-hal yang bersifat positif
tentang manusia.
Pengertian
humanisik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan yang beragam pula. Teori humanisme menyatakan bahwa bagian
terpenting dalam proses pembelajaran adalah unsure manusianya. Humanisme lebih
melihat sisi perkembangan kepribadian manusia dibandingkan berfokus pada
“ketidaknormala”atau “sakit”.manusia akan mempunyai kemampuan positif untuk
menyembuhkan diri dari “sakit” tersebut, sehingga sisi positif inilah yang
ingin dikembangka oleh teori humanisme
Teori
belajar humanisme bertujuan bahwa belajar adalah untuk memanusiakan manusia.
Proses belajar dianggap berhasil jika telah memhami lingkungan dan dirinya
sendiri. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya bukan dati sudut pandang pengamatnya. Teori belajar ini
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang ilmu filsafat, teori
kepribadian dan psikoterapi dibanding tentang psikologi belajar. Teori
humanisme lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep
pendidikan unttuk membentuk manusia yang dicita-citakan serta tentang proses
belajar dalam bentuk yang paling ideal.
Selain teori behavioristik dan teori kognitif,
teori belajar humanisme juga perlu untuk dipahami. Menurut teori humanisme,
proses belajar harus dimulai dan ditunjukan untuk kepentingan memanusiakan
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori humanisme sifatnya lebih abstrak dan
mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi dari pada
bidang kajian psikologi belajar. Teori humanisme sangat mementingkan isi yang
dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak
berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang
dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pemahaman tentang prosesbelajar
sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar
lainnya
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud aliran
humanisme?
2.
Bagaimana pengertian konsep dari teori belajar humanisme ?
3.
Siapakah tokoh – tokoh dalam teori
humanisme ?
4.
Apa kelebihan
dan kekurangan teori belajar humanisme?
5.
Bagaimana
pendekatan teori belajar humanisme
6.
Bagaimana
aplikasi teori humanisme dalam pendidikan ?
7.
Sebutkan model pembelajaran teori belajar humanisme?
1.3 Tujuan
1.
Untuk memahami pengertian aliran humanisme
2.
Untuk dapat mengetahui teori belajar humanisme
3.
Untuk mengetahui tokoh – tokoh yang berperan dalam teori humanisme
4.
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori humanize
5.
Untuk mengetahui pendekatan belajar
humanisme
6.
Untuk mengetahui aplikasi teori humanise dalam pendidikan
7.
Untuk mengetahui model pembelajran
teori belajar humanisme
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Aliran Humanisme
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran
dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an dengan akar pemikiran dari
kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Humanistik berkembang
menjadi a third force atau a third power atas reaksi terhadap dua aliran
psikologi sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisme/ psikoanalisa.
Psikologi behaviorisme dipelopori oleh ivan Pavlov, behaviorisme merupakan
aliran yang mempelajari perilaku individu yang diamati dengan tujuan untuk
meramalkan dan mengontrol tingkah laku individu tersebut. Behaviorisme
memandang manusia ibarat makhluk mekanistik yang dikendalikan kekuatan dari
luar dirinya.
2.2 Pengertian Teori Belajar Humanisme
Teori
belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusikan
manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si
pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain,
si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik
adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Sukardjo
dan Komarudin, 2009: 56).
Senada
dengan pendapat di atas, belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar
bersifat elektrik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai
aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih
mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan
membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat
diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok
sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing didepan kelas. Guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap
materi yang diajarkan. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap
fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39).
Awal
timbulnya psikologi humanistis terjadi pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya
suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan
psikologilah yang berjasa dalam pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi
klinik, pekerja-pekerja sosial, konselor, bukan merupakan hasil penelitian
dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenalkan
dengan psikologi humanistis, eksternal, perseptual atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha
memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku (behavior), bukan dari pengamat
observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme muncul pada tahun 1960 sampai
dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama
dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini
(Herpratiwi, 2009: 37).
Perhatian
psikologi humanistik terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu
dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan
kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran
humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan
perasaan dan perhatian siswa. Gerakan munculnya psikologi humanistik disebabkan
oleh semacam kesadaran bersama beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori
psikologi yang berkemampuan menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan
yang sewajarnya mengfungsikan manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada
dasarnya mempunyai kapasitas serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi
kemanusiaannya (Herpratiwi, 2009: 37).
Menurut
aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi
dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan
alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan
Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme berfokus pada sikap dari kondisi manusia
yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan
nasib sendiri, kebebasan dan bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur
dasar pencarian. Maka yang unik didalam dunia yang tidak bermakna, berada
sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang lain keterhinggaan, kematian,
dan kecenderungan mengaktualisasikan diri. Perkembangan pribadi yang muncul
berdasarkan keunikan masing-masing individu. Teori ini berfokus pada saat
sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan. Pendekatan ini menyajikan
kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan perkembangan. Menghapus
penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa menemukan dan
menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri dan bertanggung
jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38).
Senada
dengan pendapat di atas, konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi
manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal
sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri,
menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan
membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan
karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 57).
Keleluasaan
untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan serta bagaimana mereka akan
mempelajarinya merupakan ciri utama pendekatan humanisme. Bertujuan untuk
membantu siswa menjadi self-directed serta
self-motivated leaner. Penganut paham
ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka memiliki motivasi yang tinggi dan mereka
diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan dan mereka hindari
pemberian nilai dan tes standar atau evaluasi formal lainnya. Pengertian
humanisme yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Kata humanisme dalam
pendidikan, dalam artikel “what is
humanistic education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau
guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan
ini terangkum dalam psikologi humanisme (Herpratiwi, 2009: 38).
Beberapa
ciri khas yang dominan dalam psikologi humanisme sebagai berikut.
· Mereka
menekankan bahwa psikologi seharusnya memperlakukan “keseluruhan kepribadian
manusia” meliputi seluruh aspek-aspeknya.
· Mereka
menekankan kepada aktivitas dari sudut pandang personnya dari sudut pandang
“peninjau” (observer). Pengikut psikologi humanisme menyatakan bahwa dalam
melihat manusia sebagian besar ahli-ahli psikologi mengambil sudut pandang
orang ketiga, sedangkan cara yang paling nyata untuk mempelajari psikologi
ialah melalui “mata person” yaitu dirinya sendiri.
· Mereka
juga menekankan kepada “self-actualization”,
“self-fulfillment” atau “self-realization”.
· Mengenai
perkembangan pribadi seseorang dalam arah apapun, orang tersebut selalu memilih
atau menilai (Herpratiwi, 2009: 40).
Nilai-nilai
penting yang ditumbuhkembangkan dalam pendidikan humanisme sebagai berikut.
Ø
Kejujuran (tidak
menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
Ø
Menghargai hak orang
lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan
orang lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap problem orang
lain).
Ø
Menjaga lingkungan
(menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll. Menjaga barang
milik sendiri ataupun milik orang lain).
Ø
Perilaku (mau berbagi,
menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan
publik).
Ø Perkembangan
pribadi (menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik,
mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan
rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani,
terhormat dan patriotik, serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).
Humanisme
lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus
kepada “ketidak normalan” atau “sakit” seperti dilihat oleh teori psikoanalisa
freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pembelajarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini (Herpratiwi, 2009: 42).
Kemampuan
positif disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam dominan efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang
hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan,
kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan
pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas
keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan
pada hubungan interpersonal, para pendidiknya yang beraliran humanisme juga
mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan
kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi,
merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum
yang lebih luas mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).
Melihat
hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan
ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat
emosi sebagai hal yang mengganggu dalam perkembangan, sementara humanisme
melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah
karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme. Karena berfikir
dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan
mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan
emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti
yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan kognitif
(Herpratiwi, 2009: 42-43).
2.3 Tokoh – Tokoh Dalam Teori Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanitik secara
teoritik antara lain adalah : Arthur Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers..
1.
Arthur Combs
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan
perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain.
Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain
tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya,
untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Sesungguhnya para ahli psikologi humanisme melihat dua bagian belajar, yaitu
diperoleh informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut.
a.
Pemerolehan informasi baru
Peserta
didik akan tertarik dan bersemangat untuk belajar jika apa yang dipelajari akan
menjadi suatu informasi baru yang bermakna dan bermanfaat bagi dirinya.
b.
Personalisasi informasi baru
Informasi
baru yang dipahami peserta didik itu bukan hasil transfer langsung dari guru ke
peserta didik. Peserta didik sendirilah yang mecerna dan mengolah apa yang
disampaikan oleh guru menjadi sesuaidan bermakna. Atrinya informasi itu
diperolehnya sendiri dan peserta didik menjadi pemilik informasi tersebut. Peran
guru disini adalah sebagai pembimbing yang mengarahkan.
Keliru jika guru berpendapatbahwa murid akan
mudah belajar kalua bahan pelajaran disusun dengan rapid an disampaikan dengan
baik, tetapi arti dan maknanya tidak melekat pada bahan ajar itu, murid
sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut
ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana
pelajaran itu disampaikan,tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan
makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan
kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.
Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang
(dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri),semakin kurang
pengaruhnya terhadap seseoarang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut
dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam
berperilaku. Jadi jelaslah maka semakin
banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena tidak adakaitanya
sama sekali dengan dirinya.
2. Abraham
Maslow
Abraham H. Maslow adalah tokoh yang menonjol dalam
psikologi humanisme. Karyanya di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali
terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting
didasrkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk
tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan.
Maslow, berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki
kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah yang paling asasi sampai dengan
kebutuhan tertinggi. Kebutuhan tersebut terbagi dalam lima tingkatan yaitu:
a. Kebutuhan jasmaniah atau dasar (basic needs), seperti makan, minum,
tidur, dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan.
b. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs), kebutuhan kesehatan,
keamanan lingkungan, lapangan kerja, sumber daya, dan terhindar dari bencana.
c. Kebutuhan untuk dimiliki dan
dicintai (belongingnees needs), butuh
cinta, persahabatan, dan
keluarga,kebutuhan menjadi anggota kelompok, dan sebagainya.
d.Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), butuh kepercayaan diri,
harga diri, prestasi, dan penghargaan dari orang lain.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), moralitas,
kreativitas, dan ekspresi diri.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan pertama dengan
satu kebutuhan yang berikutnya (kebutuhan teratas). Keempat kebutuhan yang
pertama disebut deficiency neds
(kebutuhan yang timbul karena kekurangan) pemenuhan kebutuhan ini pada
umumnyabergantung pada orng lain. Sedangkan satu kebutuhan yang lain dinamakan growth needs (kebutuhan untuk tumbuh)
dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan
yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada
terpenuhinyankebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan
potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri
ini tampil,tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul
kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu,
memperoleh ilmu dan pemahaman.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat
penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinnya memperhatikan
teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak
tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di
dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk
belajar. Menurut Maslow, guru tidak bias menyalahkan anak atas kejadian ini
secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya
kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti.bisa jadi
anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, smalaman
tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi/keluarga yang membuatnya
cemas dan takut, dan lain-lain.
3.
Carl R. Rogers
Metode yang diterapkan Rogers dalam
psikoterapi awalnya disebut non directive atau terapi yang berpusat pada klien
(client centered therapy), dan pioneer dalam risetnya pada proses terapi.
Pendekatan terapi yang berpuast pada klien dari Rogers sebagi metode untuk
memahami orang lain, menangani masalah-masalah gangguan emosional. Rogers berkeyakinan bahwa
pandangan humanisme dan holism terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam
teorinya, klien diajak untuk memahami diri dan pada akhirnya menyadari untuk
mengembangkan diri secara utuh dan lebih dapat menjadi dirinya sendiri.
Lima sifat khas orang yang berfungsi
sepenuhnya (fully human being):
a.
Keterbukaan pada pengalaman
Orang
yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan
fleksibel sehingga timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan banyak
mengalami emosi (emosional) baik yang positif maupun yang negative.
b.
Kehidupan ekstansial
Kualitas
dari kehidupan ekstansial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya sehingga
ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu berubah dan cenderung
menyesuaikan diri sebagai respon atas pengalaman selanjutnya.
c.
Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman
akan menjadi hidup ketika seorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri.
Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasakannya benar
(timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi
dari suatu situasi dengan sangat baik.
d.
Perasaan bebas
Orang
yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya
paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan antara alternative pikiran dan
tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi
mengenai kehidupan dan percaya masa depan tergantung pada dirinya sendiri,
tidak pada peristiwa pada masa lampau sehingga ia dapat melihat sangat banyak
pilihan dalam kehidupanya dan merasa mampu melakukan apa yang saja yang ingin
dilakukanya.
e.
Kreatifitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada
organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas
dengan cirri-ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh,
dan berkembang sebagai respon atas stimulus kehidupan yang beraneka ragam
disekitarnya.
Calr R. Rogers merupakan
ahli psikologi humanisme yang gagasan-gagasnnya berpebgaruh terhadap pukiran
dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pedidikan, dan lain-lain.
Lebih khusus dalam bidang pendidikan , Rogers mengutarakan pendapat tentang
prinsis-prinsip belajar humanisme.Dalam buku Freedom to Learn, Rogers
mengemukakan prinsip-prinsip belajar humanisme yang penting adalah sebagia
berikut :
1.
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5.
Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat
diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6.
Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
7.
Belajar diperlancar jika peserta didiknya dilibatkan dalam proses belajar
dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar.
8.
Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya,
baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang
mendalam dan lestari.
9.
Keprcayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan,kreativitas, lebih mudah
dicapai terutama jika peserta didiknya dibiasakan untuk mawas diri dan
mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua
yang penting.
10.
Belajar yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuan kedalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh Rogers diatas,
secara singkat inti prinsip belajar humanism adalah sebagai berikut :
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers,manusia
mempunyai hasrat alamiah untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa
ingin tau anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan.
Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan
humanisme. Di dalam kelas yang humanism anak-anak diberi kesempatan dan bebas
untuk memuaskan dorongan ingin tahunya,
untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti
tentang dunia di sekitarnya.
b. Belajar yang berarti
Belajar
akan mempunyai arti atau mekne apabila apa yang dipelajari relevan dengan
kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar adengan cepat apabila
yang dipelajari mempunyai arti baginya.
c.
Belajar tanpa ancaman atau hukuman
Belajar
mudah dilakukan dan hasilanya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung
dalam lingkungan yang bebas ancaman atau hukuman. Proses belajar akan berjalan
lancer manakala murid dapat menguji kemampuanya, dapat mencoba
pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tan pa mendapat
kecaman yang biasanya menyinggung perasaan.
d. Belajar atas inisiatif sendiri
Belajar
akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan
melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah arah belajarnya
sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid
untuk “belajar bagaimana caranya
belajar” (to learn how to learn).
Tidak perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi
tidak ebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber,
merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar
atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik paa proses maupun hasil
belajar.
Belajar
atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadibebas, tidak bergantung, dan
percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia
memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan
pilihan dan melekukan penilaian. Dia juga lebih bergantung pada dirinya sendiri
dan kuran bersandar pada penilaian pihak lain.
Disamping
atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi,
kognitif, maupun afektif. Rogers dan para ahli humanisme yang lain menanamkan
jenis belajar ini sebagai whole – person
learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh.
Para ahli humanisme percaya, bahwa belajar dengan tipwe ini akan menghasilkan
perasaan memiliki (feeling of belonging)
pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar,
lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa
bergairah untuk terus belajar.
e. Belajar dan perubahan
Terakhir yang dikamukakan
oleh Rogers ialah bahwa yang paling bermanfaat ialah belajar tentang proses
belajar. Menurut Rogers, diwaktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai
fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah,
dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan
zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan
dan teknologi selalu maju dan melaju.apa yang dipalajari di masa lalu tidak
membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan
datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu
belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.
2.4 Kelebihan dan Kekurannga Teori
Belajar Humanisme
Di
bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan teori belajar humanistik,
sebagai berikut.
a.
Kelebihan teori belajar
humanisme
Pembelajaran
dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang
bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis
terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang
lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku
(Herpratiwi, 2009: 56).
b.
Kelemahan teori belajar
humanisme
Karena
dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan
yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurnag
aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan
tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal
dlaam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar juga aktif
dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan
sebagai pelaku utama (student center)
maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu
sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa
menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).
2.5 Pendekatan
Teori Belajar Humanisme
Pendekatan
pembelajaran humanisme memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka
untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya
sendiri dan juga atas hidup orang lain.
Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanisme
ialah pendekatan reflektif, dialogis, dan ekspresif. Pendekatan reflektif
mengajak peserta didik untuk berfikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik
tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog,
pendekatan dialogis menagajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya
sendiri. Sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk
mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktualisasi diri).
Dengan demikian, pendidik tidak mengambil alih tanggung jawab, melainkan
sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri.
Penentuan sikap dan pemilihan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya
(Herpratiwi, 2009: 57).
Pendidikan
yang humanistik menekan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama ialah
bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antar pribadi-pribadi dan
antar pribadi dan kelompok di dalam komunikasi sekolah. Relasi ini berkembang
dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cinta
kasih atas mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif
tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta, hati yang penuh
pengertian serta relasi pribadi yang efektif. Dalam mendidik seseorang kita
hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya
secara jujur. Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih
keterampilan verbal kepada peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta
didik dapat menumbuhkembangkan dirnya secara optimal (Herpratiwi, 2009: 57).
Mendidik
yang efektif pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang menghadirkan diri
sedemikian rupa sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan
siswa dan mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan
matang. Pendidikan yang efektif ialah yang berpusat pada siswa atau pendidikan
bagi siswa. Dasar pendidikanya ialah peserta didik menemukan, mengembangkan,
dan mencoba mempraktikan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama
pendidikan yang berpusat pada siswa ialah bahwa pendidik menghormati,
menghargai dan menerima sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif
sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya
dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif. Peserta didik akan dapat
mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian memfungsikan dirinya
di dalam masyarakat secara optimal (Herpratiwi, 2009: 58).
Tujuan
sejati dari pendidikan seharusnya ialah pertumbuhan dan perkembangan diri siswa
secara utuh sehingga meraka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu
menghadapi berbagai masalah dan konflik alam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan
ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan
humanistik serta mengembangkan cara aktif-positif dan keterampilan memadai.
Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada
minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan dibidang
intelektual, emosi/ perasaan, afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk
hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya ialah memanusiakan manusia
muda. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan
berkembang menjadi pribadi-pribadi lebih bermanusiawi, berguna dan berpengaruh
di dalam masyarakat, bertanggung jawab dan bersifat proaktif dan kooperatif.
Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis,
keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang
luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun humanis (Herpratiwi,
2009: 58).
2.6
Aplikasi Teori Belajar Humanisme
Pengertian
humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Perlu adanya satu pengertian
yang disepakati mengenai kata humanistik dalam pendidikan. Dalam artikel “What is The Humanistic Education?”,
Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan
bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukan bahwa ada
beberapa tipe pendekatan humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukan
bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai
pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 63).
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi
terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 64)
Pandangan
kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran
guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/
tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar
belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses pembelajaran tetapi yang
terpenting ialah memfasilitasi tumbuhnya
motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan
kesadaran sidentitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
Guru
berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir pasif akan
tetapi justru guru harus berperan aktif
dalam suatu proses pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak
kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas
keingintahuan peserta didik mempelajari segalanya tentang bidang studi
tersebut. Guru harus aktif dan paham betul atas keunikan peserta didik
(Herpratiwi, 2009: 61).
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami
potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih menitik beratkan
pada proses belajar daripada hasil belajar. Adapun proses yang umunya dilalui
sebagai berikut.
a.
Merumuskan tujuan
pembelajaran yang jelas.
b.
Mengusahakan
partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan
positif.
c.
Mendorong siswa untuk
mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d.
Mendorong siswa untuk
peka berfikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e.
Siswa didorong untuk
bebas mengemukakan pendapat memilih pilihanya sendiri, melakukan apa yang
diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang ditunjukan. Guru menerima
siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara
normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala risiko
perbuatannya atau proses belajarnya.
f.
Memberikan kesempatan
kepada murid untuk maju sesuai dengan kecepatanya. Evaluasi diberikan secara
individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 65).
Pembelajaran
berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan
sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar
dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh
pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin,
atau etika yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).
Psikologi
humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi
kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai berikut.
a.
Fasilitator sebaiknya
memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau
pengalaman kelas.
b.
Fasilitator membantu
untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan
juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.
Fasilitator mempercayai
adanya keinginan dan masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang
bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam
belajar yang bermakna.
d.
Fasilitator mencoba
mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar yang paling luas dan paling mudah
dimanfaatkan siswanya untuk mencapai tujuan mereka.
e.
Fasilitator menempatkan
dirinya disuatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.
Di dalam menghadapi
ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, guru menerima baik yang bersifat
intelektual, sikap, perasaan dan menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi
individual maupun bagi kelompok.
g.
Bilamana kelas telah
mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang
turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan
pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h.
Fasilitator mengambil
prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaanya dan juga pikirannya dengan
tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara
pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.
Dia harus tetap waspada
terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat
selama belajar.
j.
Di dalam berperan
sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri (Herpratiwi, 2009: 62).
Ciri-ciri
guru yang baik menurut humanistik ialah guru yang memiliki rasa humor, adil,
menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan
wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan.
Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa humor rendah,
mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang
menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang
ada (Herpratiwi, 2009: 62).
2.7
Model Pembelajaran Humanisme
Model
pembelajaran humanistik yang dapat dijelaskan dalam makalah ini, sebagai
berikut.
a.
Humaning
Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi
sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik
putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di
Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of
The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada
pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini tertumpu pada tiga
ha, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan
terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan
kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi
materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang
sangat manusiawi.
b.
Active
Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman.
Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar
bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa.
Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat
kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar.
Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan
apa yang mereka pelajari. Dalam Active
Learning cara belajar dengan mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan
cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham,
dengan cara mendengar, melihat, berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus
ialah dengan membelajarkan.
c.
Quantum
Learning merupakan cara pengubahan macam-macam
interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di sekitar momen belajar.
Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan
sugetologi teknik pemercepatan belajar dan neurolenguistik dengan teori
keyakinan dan metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa
jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu
membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode
belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat ganda.
Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru
akan lebih besar dan terekam dengan baik.
d.
The
Accelerated Learning, merupakan pembelajaran
yang dipercepat. Konsep dasar darai pembelajaran ini berlangsung sangat cepat,
menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada
guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic, auditory, visual dan intellectual
(SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory
adalah learning bay talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter
menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan
upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan,
warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Naun
semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan
pengalaman belajar efektif (Herpratiwi, 2009: 58-60).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia
pendidikan, karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri
manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada
setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan
pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari
waktu ke waktu, humanisttik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian
tujuan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar