Kamis, 19 Juni 2014
Anak Mulai Tidak Jujur,,UppPPsss,,, !!
Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan karena itulah maka usia dini dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang sangat berharga daripada usia-usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik. Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan kepada anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki pada setiap tahapan perkembangan anak (Berk, 1992:18).
Gallahue (1993) menyatakan bahwa usia prasekolah merupakan waktu yang paling optimal untuk perkembangan motorik anak. Apa Itu Pendidikan Anak Usia Dini?
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Early Childhood Education (ECE) adalah pendekatan pedagogis dalam penyelenggaraan pendidikan anak yang dimulai dari saat periode kelahiran hingga usia enam tahun (Danar, 2009:01). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Yuliani (2009:06) berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini yang tertulis dalam pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”.
Selanjutnya pada Bab I pasal 1 ayat 14 juga ditegaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Yuliani dalam Depdiknas, USPN, 2004:4).
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan
dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap dan perilaku serta beragama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini (Yuliani, 2009:07).
Cerita Fakta
Tidak biasanya Aurora (Rora) yang berumur 5 tahun, berbohong. Awalnya ia tidak mengaku sudah menyalahi peraturan dengan menonton TV lebih lama dari kesepakatan ketika kedua orangtuanya bekerja. Kebohongan satu ditutup dengan kebohongan lain. Bahkan Rora berbohong dan mengatakan uang sakunya hilang ketika di sekolah dan minta lagi pada mbak pengasuh padahal uang sakunya masih ada. Hal ini ia lakukan karena ingin membeli mainan di sekolah yang tidak pernah diperbolehkan oleh kedua orangtuanya. Ia juga semakin sering bersikap tidak jujur dan menjadi anak yang kurang terbuka, padahal sebelumnya ia selalu bersikap jujur dan patuh terhadap semua aturan yang telah dibuat oleh orangtuanya. Kedua orangtuanya memang bekerja di luar rumah dan biasanya pulang sampai sore, mereka menitipkan Rora kepada seorang pengasuh yang dibayar jasanya untuk menjaga dan mengasuh Rora sampai mereka pulang ke rumah atau istilah lain menyebut babysister. Sekarang ia jadi sering melihat tayangan di televisi ketika mbak pengasuhnya sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur dan ia akan berpura-pura belajar atau membaca buku ketika mbak pengasuhnya datang. Sikap Rora yang seperti ini membuat kedua orangtuanya cemas dan khawatir mengapa Rora sudah mulai berbohong di depan mereka.
Pada dasarnya kebohongan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Kebohongan untuk menghindari hukuman;
2. Kebohongan yang bersifat prososial; dan
3. Kebohongan yang bersifat antisosial.
Perilaku berbohong pada anak-anak seperti kasus Rora di atas perlu mendapat perhatian dari orangtua. Kecenderungan berbohong pada anak akan mempengaruhi cara anak dalam membangun dan mempertahankan hubungannya dengan orang lain. Kejujuran pada prinsipnya merupakan dasar dari komunikasi yang efektif dan relasi sosial yang sehat. Untuk dapat menangani atau mencegah perilaku berbohong pada anak, orangtua perlu memahami apa yang menyebabkan anak tersebut berbohong.
Kebohongan untuk menghindari hukuman tidak bertujuan untuk merugikan orang lain, tetapi untuk menguntungkan diri sendiri. Kebohongan prososial atau disebut juga dengan istilah lain yaitu “kebohongan putih” adalah
“Anak-anak belajar dari orangtua. Jika orangtua mengajari anak berbohong, seperti mengatakan ‘Ibu tidak ada’ padahal ibunya ada, anak akan merekam sikap itu.
Terampil
Mainkan Ekspresi
kebohongan yang bertujuan untuk melindungi atau membantu dan tidak membahayakan orang lain, misalnya mengatakan pada si pemberi hadiah bahwa ia menyukai hadiah yang sebenarnya tidak ia sukai. Kebohongan antisosial adalah kebohongan yang bersifat melanggar nilai-nilai moral, biasanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan diri sendiri dan dampak negatifnya dapat merugikan orang lain. Anak-anak biasanya melakukan jenis kebohongan pertama dan kedua. Namun bila anak berbohong secara terus-menerus dan semakin parah, misalnya sampai sering membolos sekolah atau bahkan melakukan kebohongan antisosial seperti mencuri barang milik orang lain, maka dibutuhkan bantuan ahli untuk membantu menangani masalah tersebut. Mengapa anak berbohong? Bagaimana sebaiknya orangtua bereaksi ketika anak berbohong?
Anak dapat mulai berbohong pada usia sekitar 3 tahun. Anak usia prasekolah berbohong karena mereka belum bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan. Di usia 4-6 tahun, anak lebih terampil dalam memainkan ekspresi wajahnya. Biasanya alasan anak berbohong adalah untuk menutupi kesalahan, menghindari hukuman, ingin tampak sebagai anak baik di mata orangtuanya, atau untuk
memperoleh apa yang mereka inginkan. Semakin bertambah usia anak, keterampilannya untuk berbohong diperkuat dengan kosakata yang semakin luas dan kemampuannya untuk memahami apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain. Salah satu penyebab anak berbohong adalah karena reaksi orangtua ketika anak menyampaikan dengan jujur suatu kesalahan yang telah ia lakukan. Biasanya orangtua akan merasa kecewa atau marah pada anak dan mengatakan kepada anak dengan nada tinggi sambil membentak atau bahkan memukul anak, “Mengapa kamu melakukan itu?”, “Siapa yang mengajari kamu berbohong?”. Ada pula orangtua yang menyesali dan menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak bisa mendidik anaknya dengan baik, sehingga kebohongan anak dibiarkan menjadi semakin parah. Bila reaksi orangtua ketika anak berkata jujur adalah marah, maka anak akan belajar bahwa lain kali lebih aman untuk berbohong daripada berkata jujur. Akan tetapi, bila orangtua tetap bersikap tenang dan mengajak anak untuk berbicara mengenai apa yang sebenarnya terjadi serta apa yang sebaiknya dilakukan, maka anak akan merasa dipahami dan merasa nyaman untuk bersikap terbuka kepada orangtua.
Ada banyak penyebab anak berbohong, diantaranya adalah :
1. untuk mendapatkan perhatian dari orang lain di sekitarnya;
2. untuk memperoleh apa yang ia inginkan;
3. untuk melindungi orang lain, menjaga perasaan orang lain atau disebut dengan “bohong putih” ;dan
4. adanya kebohongan yang secara secara tidak sengaja telah ditanamkan oleh orangtua.
Anak perlu memahami bahwa sesekali melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. Anak mengalami berbagai hal baru setiap hari, sementara kemampuan anak untuk mengambil keputusan belum berkembang dengan baik, sehingga ada kalanya anak melakukan kesalahan dan masih dalam tahap yang wajar karena anak belum benar-benar memahami dengan baik bagaimana cara untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Selain itu usia anak-anak juga ditandai oleh tingginya rasa ingin tahunya, sehingga kadang-kadang anak ingin mencoba hal yang baru dan melakukan hal yang dilarang oleh orangtua.
Namun, orangtua tetap perlu bersikap tenang dan lebih berfokus pada sisi positif yaitu bahwa anak berani jujur sekalipun mungkin ia merasa malu atau takut dimarahi. Sebagai orangtua kita perlu mengucapkan terima kasih kepada anak karena sudah mau berkata jujur dan untuk selanjutnya kita harus melakukan pendekatan kepada anak dengan mengajak dia berdiskusi tentang apa yang bisa dipelajarinya dari kesalahan yang telah ia lakukan, hal
ini bertujuan agar hal yang sama tidak sampai terulang untuk yang kedua kalinya. Selanjutnya kita perlu mengajak anak berbicara dan berbagi tentang peristiwa yang telah dialaminya dan apa yang ada di benak mereka tentang peristiwa tersebut agar ke depan mereka tidak lagi melakukan suatu kebohongan untuk yang kedua kalinya. Kita sebagai orangtua juga perlu memerhatikan pola pikir anak ketika ia akan mengambil sebuah keputusan untuk dirinya sendiri sekaligus mengajarinya bagaimana cara mengambil sebuah keputusan yang lebih tepat.
Hal ini tentunya akan dapat membangun kepercayaan anak kepada orangtuanya. Hubungan anak dan orangtua akan menjadi semakin dekat dan terbuka, sehingga ketika lain kali anak mengalami masalah yang sama ia tidak segan dan malu untuk bertanya dan menceritakan apa yang dialaminya kepada orangtua.
Selain itu, anak juga dapat berbohong untuk memperoleh apa yang ia inginkan. Anak memiliki kemampuan untuk melakukan “manipulasi” demi mendapatkan sesuatu, misalnya dengan memainkan ekspresi wajah tertentu yang kadang dapat menimbulkan perasaan kasihan sehingga keinginannya dikabulkan. Semakin bertambah usia anak, ia tentunya juga akan semakin mahir pula dalam memainkan ekspresi wajah untuk berbohong melalui manipulasi dan persuasi pada orang lain. Bila tindakan ini berhasil, maka anak tidak akan ragu untuk terus dan terus melakukannya, dan dampaknya adalah kebohongan yang dilakukan anak akan semakin bertambah parah. Oleh karena itu sebagai orangtua sebelum terlambat maka kita perlu segera mengarahkan anak dan memberi batasan yang jelas serta konsekuensi ketika anak melakukan sebuah kebohongan.
Penyebab lain anak berbohong adalah untuk mendapatkan perhatian. Seringkali anak melakukan hal ini agar ia mendapatkan perhatian dari orangtua, karena ia menganggap orangtuanya terlalu sibuk bekerja sehingga melupakan dirinya. Anak memakai cara Belajar
Bohong
dari Orangtua
melebih-lebihkan cerita agar ia mendapat perhatian. Hal itu bisa terjadi akibat adanya kompensasi atas perasaan inferior dalam diri anak tersebut. Dengan menciptakan cerita bohong ia beranggapan bahwa orang lain termasuk orangtua akan terkesan padanya sehingga membuat sang anak lebih baik. Hal yang bisa dilakukan oleh orangtua dalam membantu anak untuk mengatasi perasaan inferiornya adalah dengan melakukan hal-hal yang secara bertahap dapat membangun kepercayaan diri sang anak tersebut.
Anak usia dini secara konstan mencontoh apa yang dilihat dan didengarnya. Semua kata, perilaku, sikap, keadaan, perasaan, dan kebiasaan anak atau orang dewasa di sekitarnya akan dia amati, dicatat dalam pikirannya, kemudian akan ditirunya. Imitasi atau peniruan ini merupakan salah satu cara belajar utama anak usia dini. Oleh karena itu pemberian teladan atau contoh yang baik merupakan hal yang paling penting dalam mendidik anak usia dini (Hartati, 2005:19). Namun seringkali orangtua memberi contoh yang kurang baik kepada anak mereka. Kebanyakan orangtua secara tidak sadar telah mengajari anak untuk berbohong mulai dari hal yang paling kecil. Yang perlu dihindari orangtua adalah memberi label anak sebagai “anak nakal”, “pembohong”, “anak yang tidak bisa dipercaya”. Label semacam itu akan memengaruhi harga diri anak. Ia justru akan melihat dirinya sebagai pribadi yang negatif, merasa tidak dihargai, dan akan semakin menjauh dari orangtua, dan kemungkinan terburuknya adalah bisa jadi kebiasaannya untuk berbohong akan semakin parah.
Anak belajar untuk berbohong pada tahap awal dimulai dari orangtuanya. Tidak jarang orangtua meminta anaknya untuk
menjawab telepon dan mengatakan orang sedang pergi, padahal ada di rumah. Sehingga tanpa disadari orangtua telah mengajarkan kepada anak bagaimana cara berbohong dan anak akan merekam perilaku yang seperti ini ke dalam memori otaknya. Orangtua adalah panutan bagi anak. Sudah seharusnya sebagai orangtua kita memberikan teladan dan contoh yang baik kepada anak dan jangan sampai mengajarkan untuk berbohong sekalipun itu adalah hal yang sepele menurut kita namun bagi anak hal ini akan terbawa sampai ia dewasa. Bila orangtua terbiasa mengucapkan kebohongan, maka anak akan meniru karena sejatinya anak adalah pengamat dan peniru yang hebat. Mereka mendengarkan pilihan kata dan cara orangtua berkelit saat sedang berbincang dengan orang lain. Bagi anak, apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar, itulah perilaku yang dapat diterima dan boleh dilakukan. Sehingga di kemudian hari anak akan melakukan hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh orangtuanya tersebut karena orangtuanya secara tidak sadar telah mengajarkan cara berbohong kepada anak melalui perilaku-perilaku dan ucapannya yang sering berbohong kepada orang lain walaupun berbohong dalam hal yang sepele saja seperti menyuruh anak untuk mengatakan bahwa dirinya sedang tidak berada di rumah ketika ada orang lain yang mencarinya padahal ia ada di rumah.
Alasan lain ketika anak berbohong adalah untuk melindungi orang lain, menjaga perasaan orang lain, atau disebut juga “bohong putih”. “Kebohongan putih” adalah kebohongan yang bertujuan untuk melindungi atau membantu dan agar tidak membahayakan orang lain, misalnya mengatakan kepada si pemberi hadiah bahwa ia menyukai hadiah yang sebenarnya tidak ia sukai. Anak seringkali melakukan “bohong putih” ini untuk menyenangkan perasaan orang lain di sekitarnya. Hal yang dilakukan orangtua ketika anak melakukan “bohong putih” adalah tetap menjaga keterbukaan komunikasi dengan sang anak. Anak membutuhkan rasa aman untuk menyampaikan hal yang sebenarnya
Jujur Dimulai dari Keluarga
terjadi. Dan orangtua dapat menciptakan rasa aman dan nyaman tersebut pada anak dengan mengatakan bahwa ia tidak akan dimarahi apabila mau untuk bercerita dengan jujur dan terbuka kepada orangtua.
Membiasakan anak untuk dapat berperilaku jujur dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan memulai menanamkan nilai-nilai kejujuran di dalam keluarga karena anak menghabiskan banyak waktunya di lingkungan keluarga. Keluargalah yang menjadi panutan pertama seorang anak dalam melangkah sehingga ia akan melihat model yang dianggap tepat untuk ditiru.
Anak mengenal kejujuran pertama dari lingkungan keluarga. Sebagai orangtua maka kita perlu memberikan penjelasan kepada anak bahwa kejujuran itu sangat penting dan apa saja akibat yang terjadi bila anak melakukan kebohongan. Misalnya, bila anak tidak tidak jujur maka orangtua akan merasa sedih. Bila ia berbohong pada teman, maka ia akan dijauhi oleh semua teman, tidak ada yang teman yang mau bermain dengannya lagi. Bila ia suka berbohong pada orang lain, maka tidak akan ada orang yang mempercayainya lagi dan akan menjauhinya. Orangtua dapat menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak melalui buku cerita atau film yang mengisahkan tentang pentingnya kejujuran.
Orangtua juga berperan penting dalam memberikan teladan dalam hal kejujuran karena mereka berperan sebagai panutan dalam segala hal terutama dalam hal kejujuran yang diharapkan dapat
memberikan contoh dan teladan yang baik untuk anak-anaknya dan bukan malah memberikan contoh yang buruk kepada anak-anaknya. Dengan melakukan perbuatan jujur akan lebih efektif untuk membuat anak paham daripada sekadar mengajarkan pada anak tentang tindakan jujur, artinya anak akan lebih mudah memahami contoh konkret yang orangtua lakukan daripada hanya sekadar melalui omongan tanpa ada contoh konkretnya karena sejalan dengan pendapat Jean Piaget bahwa pada usia 2-7 tahun anak berada dalam tahap Praoperasional. Tahap Pra Operasional adalah tahap dimana anak tidak dapat memahami sesuatu tanpa dipraktekkan terlebih dahulu (Piaget, 1970). Oleh karena itu sudah sewajarnya orangtua menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak melalui perilaku jujur yang sering dilihat anak setiap hari agar anak lebih mudah memahami nilai-nilai kejujuran.
Cara lain yang dapat dilakukan orangtua untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak adalah dengan cara membangun komunikasi yang hangat dan terbuka dengan anak. Dengan adanya komunikasi yang baik, maka anak akan merasa aman untuk membicarakan hal apapun kepada orangtua dengan jujur. Orangtua perlu menetapkan batasan yang jelas dalam pengasuhan anak dan menerapkannya secara konsisten agar anak tidak merasa kebingungan nantinya. Hal ini misalnya dilakukan dengan menetapkan aturan yang bagi anak untuk tidak berbohong. Bila anak melanggar, makan anak akan menerima konsekuensi tertentu yang telah disepakati bersama. Konsekuensi tersebut harus dapat menimbulkan ketidaknyamanan untuk anak, tetapi bukan bersifat hukuman yang bersifat kekerasan fisik, (misalnya memukul, menampar) atau kekerasan yang bersifat verbal, (misalnya membentak, mengumpat, dan atau mengucapkan kata-kata yang dapat merendahkan harga diri anak). Salah satu contoh konsekuensi bagi anak yang sangat menyukai sebuah film kartun adalah dia tidak boleh menonton film kartun kesayangannya selama sehari penuh.
TELADAN LEBIH EFEKTIF DARIPADA HANYA
SEKADAR NASIHAT
Batasan yang diterapkan secara konsisten ini akan dapat membantu anak untuk memahami dan mematuhi aturan yang telah disepakati bersama dengan orangtuanya. Setelah anak berusia 6-7 tahun orangtua dapat mengajarkan perbedaan antara kebohongan yang salah dan “kebohongan putih” karena pada usia ini anak sudah mulai bisa membedakan keduanya. Cara yang dapat dilakukan oleh orangtua adalah mengajari kepada anak mengenai kapan dan kepada siapa dia boleh melakukan “kebohongan putih”. Hal ini penting diajarkan dalam konteks sopan santun dalam pergaulan dengan orang lain, agar anak dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial yang baik.
Hampir setiap hari, orangtua memberikan pesan dan nasihat kepada anak-anaknya. Apapun nasihat yang diberikan kepada anak, perilaku orangtualah yang berpengaruh besar dan dapat bertahan lama di dalam benak sang anak. Jika ada orangtua yang berkata kepada anaknya agar tidak meminum minuman keras, sedangkan dia sendiri sering meminumnya, maka dapat dipastikan anak itu akan menangkap sebuah pesan yang kuat atas perilaku orangtua yang dilihatnya. Dan jika ada orangtua yang sering mengumpat, maka dapat dipastikan juga secara tidak sengaja dia telah menanamkan nilai-nilai moral yang buruk yang cenderung untuk ditiru oleh anaknya karena pada hakikatnya anak adalah peniru dan pengamat yang handal.
Kesalahan Orangtua:
“Menutup Pintu Komunikasi Terbuka”
Bisa berkomunikasi dengan anak merupakan hal terpenting dan menyangkut keterampilan dalam mengasuh anak. Seorang anak yang mudah untuk membicarakan kepada orangtuanya tentang hal yang telah dialaminya akan membuat anak merasa lebih dihargai.
Kebanyakan orangtua tanpa sadar telah mematikan komunikasi terbuka atau dua arah dengan anaknya. Terkadang, orangtua merasa tidak nyaman mendengarkan keluh kesah buah hatinya, tetapi di lain waktu orangtua sering memberi nasihat yang mungkin tidak dibutuhkan oleh anak. Ketika proses ini berlangsung, yang terjadi adalah anak-anak mengacuhkan perkataan atau nasihat orangtuanya, bahkan enggan untuk curhat (share) dengan orangtuanya lagi.
Agar komunikasi dengan anak dapat berjalan terbuka dan efektif, sebisa mungkin orangtua harus bisa „menyelami‟ keinginan anaknya. Dengan begitu, anak akan merasa bahwa orangtuanya secara sungguh-sungguh ingin mendengarkan keluh kesah mereka. Orangtua juga harus mengupayakan untuk menghindari anak berpikir bahwa „berbicara dengan orangtua hanya akan menimbulkan masalah‟. Jika anak sempat berpikir mengenai hal itu, maka anak akan cenderung untuk menjauhi orangtuanya ketika ia sedang mengalami suatu masalah. Bagi mereka, hanya akan percuma dan buang-buang waktu saja untuk berbicara dengan orangtuanya, yang ada di dalam benak anak nantinya paling-paling dia hanya akan kena marah atau hanya „diceramahi‟ tentang hal-hal yang baginya tidak terlalu penting untuk didengarkan.
Ringkasan Proses Pendidikan yang utama dan sebagai dasar yang fundamental berasal dari lingkungan keluarga. Peran orangtua sangat penting untuk mendidik anak agar ke depan anak bisa menerapkan nilai-nilai moral yang baik. Pada kasus tersebut di atas, anak dapat mulai berbohong pada usia sekitar 3 tahun dikarenakan mereka belum dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan. Biasanya kebohongan yang mereka lakukan tidak sampai merugikan orang lain. Namun seiring bertambahnya usia anak, jika orangtua tidak dapat mengatasi dengan cara yang tepat, maka anak akan semakin pandai dalam memainkan ekspresi untuk berbohong. Ada banyak penyebab anak berbohong diantaranya adalah untuk mendapatkan perhatian dari orang lain di sekitarnya, untuk memperoleh apa yang ia inginkan, untuk melindungi orang lain, menjaga perasaan orang lain atau disebut dengan “bohong putih” , dan adanya kebohongan yang secara secara tidak sengaja telah ditanamkan oleh orangtua kepada anak. Melalui teladan langsung dari orangtua anak dapat mudah mencontoh perilaku yang diajarkan orangtua karena apapun perilaku orangtua akan berpengaruh besar dan dapat bertahan lama di dalam benak sang anak. Misalnya saja tentang kejujuran, anak mengenal kejujuran pertama kali dari lingkungan keluarga. Sebagai orangtua maka kita perlu memberikan penjelasan kepada anak bahwa kejujuran itu sangat penting dan apa saja akibat yang terjadi bila anak melakukan kebohongan.
Sumber: Koran Surya Jawa Timur
Minggu, 31 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar